Lihat ke Halaman Asli

Nur Janah Alsharafi

Seorang ibu yang menyulam kata dan rasa dalam cerita

Mamah WA dan Imlek

Diperbarui: 5 Februari 2019   09:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

            Perempuan tengah baya, berkebaya encim, bersanggul cepol dan senantiasa tersenyum manis adalah sosok mamah Wa tetangga sebelah rumahku. Beberapa tahun lalu aku masih mendengar kabarnya melalui Cici Lis (salah satu putrinya bahwa mamah sehat dan kini tinggal di kota Tegal dengan putra bungsunya Wawan). Suasana Imlek seringkali membuat ingatanku berkelana jauh mengunjungi kotak memoriku tentang sosok mamah Wa dan papah Cwan. Sosok keluarga mereka berbeda jauh dengan beberapa tetangga Tionghoa di Apartemen yang lalu lalang di Lift  namun sangat jarang tersenyum konon pula bertegur sapa. Sosok mamah Wa dan papah Cwan , boleh dibilang mirip sosok papah Afuk di film ‘Cek Toko Sebelah’ yang begitu akrab dan membaur dengan lingkungan sosialnya.

            Keluarga mamah Wa  dan papah Cwan menyewa rumah orang tuaku yang letaknya persis di sebelah rumah tempat tinggal keluargaku di kota Semarang. Sebegitu terbukanya ibundaku (Allahuyarham Asiah binti Khusi Muhammad, beliau adalah istri pertama abah dan merawatku sejak usiaku 8 tahun), hingga membuat pintu khusus yang dapat menghubungkan rumah orang tuaku dengan rumah sewa tempat mamah Wa sekeluarga tinggal. Papah Cwan menggunakan ruang tamu keluarganya untuk membuka persewaan komik. Komik yang disewakan adalah komik-komik yang mendidik seperti dongeng-dongeng kuno karya HC Andersen, komik Mahabarata, komik Ramayana, komik silat  Kho Ping Ho, komik Indonesia seperti Gundala Putra Petir, Novel remaja karya Barbara Cartland, novel karya Pearls Buck, novel NH Dini, Mira W dan masih banyak lagi.

Meskipun bisnisnya adalah menyewakan komik, namun papah tetap mengutamakan pendidikan buat anak dan remaja yang menyewa buku di tempatnya. Ketika Sekolah Dasar, aku dan teman sebayaku yang saat itu usia SD hanya boleh membaca komik kategori anak-anak seperti dongeng HC Andersen. Dongeng-dongeng khayalan seperti putri salju, rumah roti, sepatu merah, little mermaid, gadis korek api dan masih banyak lagi. Jangan pernah bermimpi bisa membaca buku-buku komik remaja, papah Cwan akan menegur dengan keras pelanggan yang berusaha membujuk untuk menyalahi aturan ini. Papah dan mamah tak hanya bisnis namun juga ikut mendidik anak dan remaja yang jadi pelanggan persewaan komiknya.

Persewaan komik ini buka mulai siang hari jam sepulang sekolah. Kecuali hari libur yaitu Jum’at (beberapa anak penyewa komik bersekolah di sekolah Islam yang liburnya hari Jum’at) atau Ahad , akan dibuka 1 hari penuh. Meskipun jika libur anak-anak bisa seharian nongkrong di persewaan komik papah, namun karena mayoritas adalah anak-anak muslim maka papah akan menegur seperti ini: "Nok...Nang....pulang ya, sudah azan Zuhur , shalat dan makan dulu ya  ke rumah masing-masing"

"Nok....Nang[1]....ayo pulang dulu nanti dicari orang tuanya"

            Mamah Wa juga punya kesibukan bisnis. Mamah adalah pembuat  kue basah kelas satu di eranya. Tangan mamah begitu luwes mengaduk tepung dan bahan-bahan lainnya hingga tersaji kue yang cantik dan maknyus. Beberapa kue produksi mamah antara lain adalah : kue Ku, lapis, bika, onde-onde, bugis, ketan kelapa, cantik manis, nagasari dan masih banyak lagi. Kue-kue cantik buatan mamah Wa ini tak perlu dititip ke toko atau dijual langsung. Hal ini karena para pelanggan setia akan datang ke rumah mamah  untuk dinikmati atau untuk dijual lagi. Oleh karena keluargaku dan keluarga mamah dan papah sangat dekat, aku pun kena berkahnya sehingga sering dapat kue gratis dari mamah atau sewa komik gratis dari papah.

            Mamah Wa bukan tetangga biasa, ia bahkan kadang memperlakukanku seperti anaknya sendiri. "Nok, sini mamah kepang rambutnya biar rapi". Akupun mau dengan senang hati disisir dan dikepang rambut oleh mamah. Hal yang kukagumi dari mamah adalah penampilannya yang selalu rapi. Rambut disisir rapi dengan cepol kecil asli sebagai sanggulnya. Berbedak tipis dan berparfum lembut adalah ciri khas mamah Wa. Anak-anak termasuk diriku hafal benar dengan bau parfum bunga yang dipakai mamah, sehingga aroma inilah yang sering menyadarkan kehadiran mamah Wa di dekat kami. Pernah satu hari ibuku ke luar kota dan simbok (mbok Sumirah) sakit sehingga di rumah belum masak. Oleh karena  sudah jam makan, mamah menawarkan aku untuk makan siang.

"Nok, makan siang disini ya. Mamah masak sayur lodeh sama sambal goreng udang"

"Tapi mah, saya takut kalau pancinya bekas babi" dengan polosnya aku mengulang kata-kata ibuku.

"Nok, mamah dan papah gak makan babi, sapi dan kambing. Mamah dan papah makan sayur, buah, ikan, udang, telor  dan ayam saja".

"Anak-anak mamah dan papah kalau makan babi di restoran, bukan di rumah".

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline