Lihat ke Halaman Asli

Menambang adalah Bagian dari Rencana Penutupan Tambang

Diperbarui: 17 Juni 2015   06:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Menurut data yang dikeluarkan oleh Jaringan Advokasi Tambang Indonesia masih sangat banyak perusahaan tambang yang tidak melaksanakan kewajibannya untuk mereklamasi lahan pasca penambangan. Data tersebut menyatakan bahwa operasi penambangan menimbulkan dampak yang sangat serius bagi masyarakat sekitar kawasan tambang. Pemerintah telah mengeluarkan 10.963 izin usaha pertambangan (IUP) di seluruh Indonesia, dimana dari operasi penambangan tersebut telah mengakibatkan 71 korban jiwa, 584 korban kekerasan, dan 13 juta ha hutan lindung terancam keberadaannya (JATAM 2015).

Dari fenomena tersebut akhirnya muncul penilaian yang negatif dari masyarakat terhadap sektor pertambangan di Indonesia. Padahal jika dilihat dari peraturan dan perundangan yang berlaku, pemerintah telah membuat kebijakan yang sangat mengikat bagi perusahaan tambang agar operasi penambangan yang dilakukan wajib diselesaikan dengan kegiatan reklamasi (best reclamation practice).

Kondisi suatu kawasan sebelum adanya kegiatan penambangan pada umumnya merupakan daerah yang terisolir, memiliki perputaran ekonomi yang lambat, infrastruktur yang buruk, jumlah penduduk sedikit, pendatang hampir tidak ada, jumlah SDM berpendidikan tinggi sedikit, aksesibilitas rendah, dan sumberdaya alam kurang termanfaatkan. Ketika perusahaan tambang mulai beroperasi maka terjadi gangguan lahan, terbentuk lubang-lubang bekas tambang, serta kerusakan dan pencemaran lingkungan di sekitarnya. Namun dengan adanya perusahaan tambang tersebut akan membuka daerah yang terisolir, meningkatkan perputaran ekonomi masyarakat setempat, membanguninfrastruktur yang baik seperti jalan, fasilitas kesehatan dan pendidikan, serta meningkatkan aksesibilitas kawasan tersebut.

Setelah tambang ditutup kemudian dilakukan rehabilitasi lahan bekas tambang dan lubang galian secara bertahap agar aman dan tetap menjadi produktif dengan menggunakan dana reklamasi yang telah dianggarkan sejak awal, misalnya pemanfaatan lubang tambang untuk reservoir air, pengembangan usaha perikanan atau lainnya yang perlu studi dan desain lebih lanjut dalam aplikasinya.

Kegiatan operasi penambangan yang dilakukan oleh perusahaan tambang harus mematuhi peraturan dan perundangan yang berlaku, yaitu Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri ESDM serta  instrumen   perjanjian berupa Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B). Dasar hukum terkait meliputi Undang-Undang No. 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Peraturan Pemerintah No 23/2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Pertambangan Mineral dan Batubara Jo PP No. 24 /2012 tentang Pelaksanaan Kegiatan Pertambangan Mineral dan Batubara, Peraturan Pemerintah No 55/2010 tentang Pembinaan dan Pengawasan Pertambangan Mineral dan Batubara, Peraturan Pemerintah  No. 9/2012 tentang Jenis dan Tarif PNBP yang Berlaku di KESDM, Keputusan Presiden No. 75/1996 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok PKP2B, Peraturan Menteri ESDM No 17/2010 tentang Tata Cara Penetapan Harga Patokan Penjualan Mineral dan Batubara, Kontrak Karya (KK) serta Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B).

Kegiatan reklamasi merupakan salah satu kewajiban pemegang izin berdasarkan peraturan dan perundangan, diantaranya Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan Pasal 30 yang mencantumkan kewajiban pemegang izin tambang untuk melakukan kegiatan reklamasi lahan pasca pertambangan. Dalam aturan tersebut dinyatakan bahwa reklamasi areal bekas tambang harus dilakukan secepatnya sesuai dengan rencana dan persyaratan yang telah ditetapkan, reklamasi dinyatakan selesai setelah disetujui oleh Dirjen, dan pemegang izin wajib menanami kembali daerah bekas tambang, termasuk daerah sekitar project area sesuai studi AMDAL yang bersangkutan.

Jika melihat sepanjang jalan antara Kota Samarinda menuju Tenggarong akan ditemukan sangat banyak lubang-lubang bekas galian tambang yang telah ditinggalkan dan menjadi kolam-kolam air yang sangat luas, hal ini sangat memprihatinkan mengingat kegiatan reklamasi lahan pasca tambang merupakan salah satu kewajiban bagi pemegang IUP yang ditandai dengan pembayaran jaminan reklamasi pada saat pengajuan IUP kepada Pemerintah.

Sesuai peraturan yang berlaku kegiatan pertambangan seharusnya hanya boleh dilakukan oleh pemegang IUP dari pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah (provinsi/kabupaten). Namun pada kenyataannya sangat banyak kegiatan pertambangan yang dilakukan tanpa IUP atau pertambangan illegal, hal ini sangat mungkin mengakibatkan banyaknya bekas-bekas galian yang ditinggalkan dan tidak dilakukan kegiatan reklamasi setelah dilakukan eksplorasi dan produksi hasil tambang.

Dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 yang dimaksud dengan reklamasi adalah kegiatan yang bertujuan memperbaiki atau menata kegunaan lahan yang terganggu sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan umum, agar dapat berfungsi dan berdayaguna sesuai dengan peruntukannya. Kebijakan reklamasi ditujukan agar pembukaan lahan untuk pertambangan seoptimal mungkin, dan setelah digunakan segera dipulihkan fungsi lahannya. Reklamasi harus dilaksanakan secepatnya sesuai dengan kemajuan tambang dan merupakan bagian dari rencana pemanfaatan lahan pasca tambang.

Bahan tambang batubara merupakan salah satu sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui, memiliki nilai ekonomi sangat tinggi, dan untuk pengelolaannya perlu SDM dengan kualifikasi yang tinggi. Sumberdaya alam yang dapat diperbaharui seperti hutan, ikan, ternak, tanaman pertanian, memiliki nilai ekonomi rendah dan umumnya mudah rusak dan mengalami gangguan dalam produksi, sehingga perlu adanya kombinasi antara kedua sumberdaya alam tersebut melalui kegiatan reklamasi lahan pasca tambang.

Beberapa perusahaan tambang yang berkomitmen dan berhasil dalam melaksanakan kegiatan reklamasi lahan pasca tambang yaitu PT. Bukit Asam, Tbk di Tanjung Enim, PT. Adaro Indonesia di Kalimantan Selatan, dan PT. Kaltim Prima Coal di Kalimantan Timur. Pembukaan lahan dan proses reklamasi areal tambang perusahaan tersebut telah dilaksanakan sesuai dengan butir-butir ketentuan pada Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 dan Peraturan Menteri No 18 tahun 2008 mengenai Reklamasi dan Penutupan Tambang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline