"Kasihan anaknya begitu, pasti ibunya kurang menjaga waktu hamil."
"Itu anak nggak bisa diem ya, harusnya ibunya lebih tegas!"
Kalimat seperti itu mudah sekali dilontarkan. Namun, apakah mereka tahu jika bagi seorang ibu yang membesarkan anak berkebutuhan khusus (ABK), komentar tersebut bisa terasa seperti pisau yang mengiris hati, pelan, namun tajam dan menyakitkan.
Fenomena 'mom-shaming', atau tindakan mengkritik dan menghakimi ibu atas cara mereka mengasuh anak, semakin marak terjadi, baik secara langsung maupun di media sosial.
Dan bagi ibu ABK, beban itu bisa berlipat ganda. Tak hanya harus menghadapi tantangan dalam mendampingi anaknya, mereka juga dihadapkan pada stigma, cibiran, dan ekspektasi yang tidak realistis dari lingkungan.
Mom-Shaming: Bentuk Kekerasan Psikologis yang Sering Diabaikan
Menurut Dr. Jessalyn Neuhaus, seorang profesor kajian gender dan pengasuhan dari University of Nevada, mom-shaming adalah bagian dari tekanan sosial terhadap standar ibu "ideal" yang kerap tidak realistis dan sangat merugikan perempuan, terutama ibu dari anak-anak dengan kondisi khusus.
Sebuah studi yang dilakukan oleh Zero to Three (2021) menyebutkan bahwa 6 dari 10 ibu mengaku pernah mengalami mom-shaming, dengan salah satu bentuk paling umum adalah komentar negatif tentang perilaku anak atau gaya pengasuhan.
Sayangnya, ketika anak yang diasuh adalah ABK, komentar itu sering kali tidak disertai empati.
Ibu ABK: Mengasuh Sambil Bertahan dari Stigma