Lihat ke Halaman Asli

Novi Maghfirotul Adawiyah

Mahasiswi Universitas Airlangga

Mengulik Maladministrasi Pelayanan Publik di Indonesia

Diperbarui: 24 Juni 2022   13:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Pelayanan publik di Indonesia selalu menjadi sorotan bagi masyarakat. Hal ini selalu dikaitkan dengan bagaimana kualitas dari pelayanan publik tersebut. Pelayanan publik diartikan sebagai kegiatan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan berupa barang, jasa, dan administratif bagi seluruh warga negara Indonesia. Sehingga, kepuasan masyarakat menjadi sebuah tolak ukur kesuksesan dalam pelayanan publik di Indonesia. Masyarakat Indonesia tentunya memiliki berbagai tuntutan untuk mendapatkan pelayanan publik yang baik,  beberapa diantaranya yakni pelayanan yang cepat, transparan, dan efisien. Namun, hal tersebut tidak selalu sejalan dengan tuntutan dari masyarakat.

Pada kenyataannya masih ada tindakan maladministrasi yang didapatkan oleh masyarakat saat mereka mengajukan pelayanan. Maladministrasi merupakan perilaku yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam proses administrasi pelayanan publik. Dikutip dari laman ombudsman.go.id yang menyatakan bahwa terdapat banyak keluhan yang disampaikan oleh masyarakat terkait pelayanan publik di Indonesia terutama pada pelayanan Pemda dan kepolisian. Pada tahun 2019, sejumlah 11.078 laporan telah diterima oleh Ombudsman, jumlah tersebut meningkat jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya yakni sejumlah 10.985 laporan. Laporan tersebut berhubungan dengan administrasi pelayanan publik.

Setiap Masyarakat berhak mendapatkan pelayanan publik yang optimal. Oleh karena itu, para penyelenggara pelayanan publik wajib memberikannya sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Hal tersebut telah tercantum pada UU nomor 25 tahun 2009. Namun, realitanya pada pelayanan publik masih terdapat kasus maladministrasi. Kasus paling umum yang terjadi pada maladministrasi pelayanan publik yakni kasus pungli. Pungutan liar ini dianggap sebagai sesuatu yang biasa dalam pelayanan publik sehingga masyarakat terkadang mengiyakan dengan membayar sejumlah uang sesuai yang diminta oleh aparatur sipil dengan alasan agar kebutuhan mereka lebih cepat untuk diproses.

Berdasarkan pengalaman, pelayanan publik yang diberikan oleh pegawai sipil kepada masyarakat yang menyelipkan uang dibandingkan dengan yang tidak menyelipkan uang tentu berbeda. Seringkali masyarakat yang membayar akan lebih diutamakan kebutuhannya sehingga lebih cepat dan sesuai dibandingkan dengan masyarakat yang tidak membayar. Hal tersebut tentu menimbulkan pertanyaan bagi masyarakat mengenai apakah ketika ingin mendapatkan hasil yang optimal dalam pengurusan layanan publik harus membayar terlebih dahulu?

Sebelumnya, presiden telah mengeluarkan Perpres nomor 87 tahun 2016 tentang Satuan Tugas Sapu Bersih pungutan Liar. Selain itu dalam pandangan hukum, KUHP telah mengatur tentang pungutan liar diantaranya tercantum pada pasal 415 KUHP, pasal 368 KUHP, pasal 418 KUHP, dan pasal 423 KUHP. Pasal tersebut telah memberikan ancaman serta larangan yang tegas bagi para oknum pungli, namun rupanya pengimplementasian pasal KUHP tersebut masih sangat kurang karena banyak oknum yang terbebas bahkan tidak terdeteksi kasus pungli sehingga mereka merasa aman untuk melakukan pungli secara berulang-ulang.

Hal tersebut memberikan gambaran bahwa penerapan undang-undang yang ada masih belum maksimal dalam menjerat oknum yang melakukan pungli. Hal ini harus menjadi perhatian bagi pemerintah agar peraturan yang telah dibentuk sebelumnya dapat dilaksanakan sesuai ketentuan yang ada, agar meminimalisir atau menghilangkan adanya pungli dalam pelayanan administrasi publik. Kasus pungli tersebut merupakan satu diantara banyaknya kasus maladministrasi yang ada di Indonesia. Salah satu anggota Ombudsman RI, Heri Susanto, pada webinar ngopi bareng Ombudsman, menjelaskan bahwa pada tahun 2021 pengaduan maladministrasi yang mendominasi adalah penyimpangan prosedur, penundaan berlarut, tidak kompeten, tidak patut, tidak memberikan pelayanan, serta berpihak.

Dengan adanya lembaga Ombudsman yang merupakan lembaga dalam mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik, maka akan membantu masyarakat sebagai wadah untuk menampung aspirasi terkait pengaduan administrasi pelayanan publik yang kemudian akan diproses dan dikirim ke instansi terlapor berupa saran penyelesaian laporan tersebut. Lembaga ini telah menampung berbagai pengaduan dari masyarakat terkait maladministrasi. Adanya lembaga ini diharapkan mampu mendukung Indonesia menuju good governance. Dilansir dari ombudsman.go.id, sepanjang tahun 2020 Lembaga ini telah menampung sebanyak 7.240 laporan, yang kemudian dikategorikan berdasarkan pengaduan terbanyak yaitu penundaan berlarut (31,57%), penyimpangan prosedur (24,77%), dan tidak memberikan layanan (24,39%). Laporan tersebut telah menjadi pertanda bahwa maladministrasi sedang marak terjadi di Indonesia.

Pemerintah perlu memberikan perhatian lebih terhadap kasus maladministrasi yang ada di Indonesia untuk segera mengambil langkah yang konkret.  Selain itu, penegakan hukum harus tegas dalam memberikan sanksi pada aparatur negara yang melakukan maladministrasi dalam memberikan pelayanan publik. Pemerintah dapat menggunakan electronic government sebagai strategi untuk mengatasi maladministrasi, dengan e-government ini, pemerintah mampu memonitoring kinerja aparatur sipil dalam pelayanan publik serta dapat meminimalisir adanya kasus pungli.  Adanya e-government ini juga dirasa lebih efektif dan efisien dalam memberikan pelayanan misalnya pada nomor antrian yang nantinya bisa adil sesuai dengan waktu mereka mengaksesnya, karena seringkali aparatur sipil berlaku curang dengan memberikan nomor antrian awal pada kerabatnya.

Disatu sisi, tidak hanya pemerintah yang berupaya memberantas maladministrasi, namun masyarakat harus sadar mengenai maladministrasi misalnya tidak menyelipkan uang saat mengurus dokumen dengan tujuan untuk mempercepat proses pelayanan serta tidak menganggap maladministrasi sebagai sesuatu yang biasa. Sebagai masyarakat, kita harus bertindak saat terjadi maladministrasi dengan melaporkannya pada lembaga terkait misalnya Ombudsman.

REFERENSI

Hayati M. (2021). Maladministrasi Dalam Tindakan Pemerintah, Vol.9 No.1

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline