Lihat ke Halaman Asli

Masih Layakkah Berita Covid-19?

Diperbarui: 22 Juli 2021   10:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

"Bang saya heran. Kok makin hari berita tentang Covid-19 makin seram saja. Jadi buat saya takut dan jujur panic attack." Kalimat itu meluncur dari seorang mahasiswi saya ketika materi kuliah mengenai bagaimana meliput dan menulis berita Kesehatan tengah berlangsung via google meet.

Saya rada kaget juga: mengapa pertanyaan itu muncul ibarat peluru kendali melesat.

Diakui atau tidak memang pemberitaan mengenai pandemic Covid-19 selalu mengutamakan berapa kasus positif Covid-19 lalu berapa yang berpulang karena keganasan virus tersebut. Lalu media memberi foto dukungan dari berita tersebut dengan deretan lubang lubur yang siap mengebumikan jasad pasien korban Covid-19.

Tiba-tiba saya teringat dengan pesan guru saya ketika bekerja di Harian Sinar Harapan. Namanya Pak Aristides Katoppo. Siapa yang tidak kenal, tokoh pers yang satu ini. Ibarat dua sisi mata uang. Begitulah jika ingin bercerita soal Harian Sinar Harapan dan sosok Aristides Katoppo.

Pak Tides, biasa saya menyapa beliau bilang begini: "Ketika kita menulis berita maka jangan lupa untuk menuliskan satu atau beberapa kalimat yang memberi harapan."

Kalimat itu hingga kini masih tergiang di benak saya termasuk teman-teman yang dulu satu perahu di Harian Sinar Harapan. Saya masih ingat ketika koran itu terbit Kembali pada 3 Juli 2001, Pak Tides mengusung tagline "Jurnalisme Damai". Jurnalisme yang memberi harapan; bukan menyodorkan kengerian sehingga pembaca menjadi takut dan panic attack seperti kata mahasiswi saya tadi.

Ibarat nyala sebuah lilin di tengah kegelapan. Nyala lilin walau kecil; tidak terang sekali tetapi akan menjadi penuntut orang yang berjalan dalam kegelapan! Ya nyala lilin itu menjadi sebuah harapan bahwa ada jalan keluar di tengah hitamnya malam; di tengah tidak ada lagi harapan sedikit pun; di tengah semua pintu tertutup! Idealnya bahkan seharusnya media massa menjadi sebuah lilin di tengah galaunya masyarakat. Persetan dengan berburu iklan dengan berita-berita yang note bene tidak memberi harapan sama sekali. Malah, kian membuat masyarakat panik. Sepertinya harapan itu tidak pernah ada!

Saya lebih mensejajarkan berita-berita mengenai pandemic Covid-19 dengan bagaimana jurnalis meliput peristiwa traumatik. Mungkin saya salah! Silakan dikoreksi. Bukankan kritik atau koreksi itu adalah salah satu jalan untuk menemukan kebenaran yang sesungguhnya meski tidak utuh kebenaran tersebut.

Jurnalisme Damai dan Traumatik

Dalam prinsip Jurnalisme Damai, jurnalis sebisa mungkin untuk menghindari konflik yang berkepanjangan. Jurnalis atau media massa jangan malah menjadi kompor memanasi kedua kubu agar konflik tetap berlanjut dan tidak ada penyelesaian sama sekali. Yang ada terus bertikai karena berita terus mengalir dari apa yang dinamakan konflik. Frasser Bond dalam "An Introduction to Journalism" menyebutkan bahwa konflik adalah salah satu faktor yang memengaruhi apa yang disebut nilai berita. Tinggalkan sebuah kejadian atau peristiwa jika tidak mengandung nilai berita. Begitu pesan dosen penulisan berita dua saya dulu di STP/IISIP Jakarta Pak Andi Baso Mappatoto.

Apakah ini artinya setiap berita yang mengandung konflik harus dihindari? Tentu saja tidak. Karena seperti kaidah Jurnalisme Damai tadi bahwa jurnalis harus ikut membantu meredakan sebuah konflik. Johan Galtung, Profesor dan Direktur Transcend Peace and Development Network mengatakan, "Korban pertama dalam perang bukanlah kebenaran. Kebenaran adalah korban kedua. Yang pertama terkorbankan adalah perdamaian."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline