Lihat ke Halaman Asli

Neno Anderias Salukh

TERVERIFIKASI

Pegiat Budaya | Pekerja Sosial | Pengawas Pemilu

Arswendo Atmowiloto, "Sang Maestro Sastra" yang Menginspirasi

Diperbarui: 20 Juli 2019   08:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Arswendo Atmowiloto-KOMPAS/ARBAIN RAMBEY

Siapa yang tidak mengenal Arswendo Atmowiloto? Sebut saja pecinta sinetron tahun 90-an. Sinetron 1 Kakak 7 Ponakan yang ditayangkan di RCTI pada tahun 1996, Keluarga Cemara yang menguasai sinetron tanah air pada tahun 1996-2002, kemudian menguasai film layar lebar pada awal 2019. Semuanya merupakan mahakarya Arswendo.

Jangankan sinetron, Senopati Pamungkas dan Canting yang merupakan bestseller Gramedia adalah secuil dari puluhan karyanya.

Atau yang hobi membaca berita-berita di Kompas dan majalah Hai, pasti tidak asing dengan tulisan-tulisan renyah pria multitalent ini.

Arswendo dilahirkan di Surakarta, Jawa Tengah pada tanggal 26 November 1948. Sesuai dengan informasi di atas, ia merupakan seorang penulis cerpen, novel, naskah drama dan skenario film serta wartawan aktif di beberapa majalah dan surat kabar seperti Kompas dan Hai.

Menarik, Arswendo bukan nama yang sebenarnya. Nama sebenarnya adalah Sarwendo tetapi karena dianggap tidak terkenal sehingga ia menggantikan namanya dengan Arswendo ditambah Amowiloto yang merupakan nama ayahnya yang digunakan hingga saat ini.

Suami dari Agnes Sri Hartini ini pernah kuliah di IKIP Solo tetapi tidak menyelesaikan studinya. Meskipun demikian, Arswendo mendapatkan tambahan ilmu menulis dari program penulisan kreatif di Lowa University, Amerika Serikat pada tahun 1979.

Akan tetapi, hobi menulis sudah menjadi takdir hidup Arswendo Atmowiloto. Di Lowa University hanyalah ilmu tambahan baginya.

Arswendo tercatat pernah bekerja di sebuah pabrik bihun dan pabrik susu. Bukan hanya itu, ia pernah menjadi penjaga sepeda dan pemungut bola di lapangan tenis.

Menjalani hidup yang cukup rumit adalah alasan Arswendo terus belajar meski tidak sekolah. Baginya, menulis adalah belajar. Itulah yang ia kerjakan selama mencari recehan sebagai karyawan pabrik dan pemungut bola.

Visi yang begitu kuat mengantarkan ayah dari Albertus Wibisono, Pramudha Wardhana, dan Cicilia Tiara ini menjelma sebagai sastrawan dan jurnalis hebat di Indonesia.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline