Lihat ke Halaman Asli

Mengulik Kebudayaan Jawa Melalui Analisa Indonesianis

Diperbarui: 5 September 2022   22:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber: alinea.id & philosophica.info 

Jawa merupakan salah satu pulau besar di Indonesia. Dalam kata "Jawa" memiliki beberapa makna salah satunya adalah nilai moral. Kata "Jawa" berkaitan dengan nilai-nilai moral, seperti contohnya dalam penggunaan kata "tidak Jawa" berarti seseorang tidak paham mengenai aturan atau bodoh dan kata njawani berarti bila seseorang bertutur kata, bersikap, dan berperilaku layaknya orang Jawa (Darmoko, h.2).

Sebelum masuk ke pembahasan, akan dijelaskan secara singkat teori yang mendasarinya. Cultural studies atau kajian budaya ini merupakan kajian yang mempunyai sifat interdisipliner yang berarti menggabungkan teori feminis, sejarah, filsafat, teori sastra, teori media, kajian video dan lain-lain. Cultural studies sendiri merupakan teori kritis yang mengkontruksi kehidupan masyarakat sehari-hari (Hasanah, 2020:43)

Ada banyak tokoh Indonesianis yang mempelajari dan melakukan praktek produksi kultural pada kebudayaan Jawa. Dari banyaknya tokoh yang mendalami budaya Jawa, ada dua tokoh yang akan dibahas yaitu Franz Magnis Suseno dan Clifford Geertz.  

Franz Magnis Suseno yang mempunyai nama asli Franz Graf von Magnis merupakan seorang rohaniwan dan juga budayawan Indonesia yang berasal dari Jerman. Setibanya di Indonesia tepatnya di Yogyakarta, Franz Magnis langsung mendalami Bahasa Jawa terlebih dahulu daripada Bahasa Indonesia yang umum. Franz Magnis juga produktif dalam menulis yang mempunyai ratusan artikel jurnal yang terpublikasi dan juga telah menghasilkan puluhan buku. 

Bukunya yang berjudul Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa, merupakan hasil penelitiannya selama bertahun-tahun di Indonesia. Di dalam bukunya itu, Franz membahas tentang kaidah dasar kehidupan masyarakat Jawa, pandangan dunia Jawa, koordinat-koordinat umum etika Jawa, beberapa masalah khusus, etika sebagai kebijaksanaan hidup, etika Jawa dan relativisme.

Franz mengutip anggapan Hildred Geertz bahwa ada dua kaidah yang menentukan pola pergaulan masyarakat Jawa. Yang pertama yaitu, bahwa dalam setiap situasi manusia hendaknya bersikap sedemikian rupa hingga tidak sampai menimbulkan konflik. Kemudian kaidah kedua yaitu menuntuk agar manusia dalam cara bicara dan membawa diri selalu menunjukkan sikap hormat kepada orang lain, sesuai dengan derajat dan kedudukannya. (Suseno, 1984:38)

Dua prinsip yang selalu ditekankan oleh oleh Jawa ini juga disadari terlebih pada anak yang sadar bahwa masyarakat mengharapkan agar kelakuannya sesuai dengan kedua prinsip tersebut. Sebagai orang yang lahir dan tinggal di Jawa, saya setuju dengan anggapan Hildred Geertz bahwa kedua kaidah tersebut menentukan pola pergaulan di dalam masyarakat Jawa. Sedari kecil pun saya diajarkan untuk selalu hormat kepada yang lebih tinggi kedudukannya. 

Masyarakat yang berasal dari Jawa juga terkenal sangat menjunjung tinggi sopan santun baik dengan yang lebih tua atau sesamanya. Misalnya saat berjalan di depan orang yang lebih tua pasti akan merundukkan tubuhnya yang menunjukkan kesopanan dan menghargai orang lain.

Kemudian Franz membahas tentang prinsip kerukunan yang berlaku pada masyarakat Jawa. Di dalam buku ini, Franz menuliskan bahwa kerukunan ini bukan penciptaan keselaran sosial tetapi lebih untuk tidak menggangu keselaran yang diandaikan sudah ada. Yang masyarakat Jawa inginkan yaitu jangan sampai kententratam dalam masyarakat tertanggu dan muncul perselisihan. Dengan kita menjaga kerukunan satu sama lain pastinya akan tercipta suasana yang harmonis dalam kehidupan masyarakat. 

Topik-topik yang dibahas oleh Franz bukunya ini sangat menarik karena dijelaskan bagaimana etika-etika yang berlaku, bagaimana ajaran-ajaran yang berlaku di masyarakat Jawa yang hingga kini masih diterapkan.

Kita beralih ke tokoh kedua yaitu Clifford Geertz. Clifford Geertz merupakan ahli antropologi budaya yang melakukan penelitian lapangan di Indonesia. Geertz Bersama istrinya pergi ke Pulau Jawa untuk mempelajari masyarakat multiagama, multiras yang kompleks di kota kecil yang bernama Mojokuto yang terletak di Jawa Timur. Dalam bukunya yang berjudul The Region of Java, Geertz membagi tipe kebudayaan ke dalam 3 jenis yaitu abangan, santri, dan priyayi yang merupakan hasil dari penggolongan penduduk berdasarkan pandangan mereka (Amrozi, 2021:50-53)

  • Abangan. Tradisi agama abangan ini terdiri dari pesta ritual yang biasanya dissebut dengan slametan, kepercayaan tentang roh dan praktek penyembuhan, ilmu ghaib. Masyarakat yang dimasukkan ke dalam varian abangan menurut Geertz adalah kaum tani.
  • Santri. Pada golongan ini mempunyai system kepercayaan yang jelas, ada nilai-nilai dan norma-norma, yang sebenarnya dikenal dengan tradisi agama Islam. Pelaksanaannya berupa ritual-ritual pokok agama Islam, seperti kewajiban untuk salat lima waktu, salat Jum'at, berpuasa pada saat bulan Ramadhan, dan menuaikan ibada haji ke Mekah.
  • Priyayi. Yang termasuk dalam golongan priyayi menurut Geertz adalah kaum priyayi, kaum elite yang sah yang disebut dengan agama priyayi. Awalnya priyayi merujuk pada kaum-kaum bangsawan yang kemudian berganti makna menjadi kaum pegawai negeri yang diangkat dan digaji. Seni-seni dalam tradisi priyayi yaitu wayang, gamelan, lakon, tari, tembang, dan batik.
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline