Lihat ke Halaman Asli

Wisata ke Candhi Cetho

Diperbarui: 4 Juli 2018   18:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sewaktu saya melaksanakan PKL di PTPN IX Kebun Batujamus di daerah karanganyar, solo, jawa tengah saya menyempakan untuk keliling ke tempat tempat wisata di daerah Karanganyar, salah satunya adalah candi Cetho. Candi Cetho letaknya di lereng barat Gunung Lawu, di desa Gumeng, Kecamatan Jenawi Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah.

dokpri

Candi Cetho memiliki ukuran panjang 190 meter dan lebar 30 meter, di area tanah dengan kemiringan sekitar 50 derajat yang di buat secara berundak dan berada pada ketinggian 1496 meter dari permukaan laut. Dengan posisi ketinggian 1496 meter candi Cetho dari permukaan laut pastinya memiliki suhu yang dingin apalagi jika kabut turun dari atas gunung pada jam jam tertentu.

Candi Cetho adalah candi agama Hindu, tersusun dalam 13 susunan serupa dengan teras siring di permukaan tanah yang miring atau mirip punden berundak pada masa jaman prasejarah.   Pada teras ke VII dapat dilihat sebuah prasasti pada dindingnya yang tertulis " Pelling padamel irikang buku tirtasunya hawakira ya hilang saka kalanya wiku goh anaut iku 1397", bila di tafsirkan dalam bahasa sekarang adalah sebuah peringatan pendirian tempat peruwatan atau tempat membebaskan dari kutukan yang didirikan pada tahun 1397 Saka (1475 Masehi).

dokpri

Simbol simbol dan mitologi arca arca yang terdapat pada candi Cetho menunjukkan fungsi utama pembangunan candi Cetho sebagai tempat ruwatan. Mitologi yang di sampaikan adalah berupa cerita Samudramanthana dan Garudeya. Sedangkan simbol penggambaran pallus dan vagina sebagai tafsiran lambang penciptaan atau dalam hal ini adalah kelahiran kembali setelah dibebaskan dari kutukan

Riwayat kompleks percandia

Pemugaran pada akhir 1970-an yang dilakukan sepihak oleh Sudjono Humardani, asisten pribadi Suharto (presiden kedua Indonesia) mengubah banyak struktur asli candi, meskipun konsep punden berundak tetap dipertahankan. Pemugaran ini banyak dikritik oleh para pakar arkeologi, mengingat bahwa pemugaran situs purbakala tidak dapat dilakukan tanpa studi yang mendalam. 

Beberapa objek baru hasil pemugaran yang dianggap tidak original adalah gapura megah di bagian depan kompleks, bangunan-bangunan dari kayu tempat pertapaan, patung-patung yang dinisbatkan sebagai Sabdapalon, Nayagenggong, Brawijaya V, serta phallus, dan bangunan kubus pada bagian puncak punden.Ketika ditemukan keadaan candi ini merupakan reruntuhan batu pada 14 teras/punden bertingkat, memanjang dari barat (paling rendah) ke timur, meskipun pada saat ini tinggal 13 teras, dan pemugaran dilakukan pada sembilan teras saja. 

dokpri

Strukturnya yang berteras-teras ("punden berundak") memunculkan dugaan akan sinkretisme kultur asli Nusantara dengan Hinduisme. Dugaan ini diperkuat oleh aspek ikonografi. Bentuk tubuh manusia pada relief-relief menyerupai wayang kulit, dengan wajah tampak samping tetapi tubuh cenderung tampak depan. Penggambaran serupa, yang menunjukkan ciri periode sejarah Hindu-Buddha akhir, ditemukan di Candi Sukuh.

Selanjutnya, Bupati Karanganyar periode 2003-2008, Rina Iriani, dengan alasan untuk menyemarakkan gairah keberagamaan di sekitar candi, menempatkan arca Dewi Saraswati, sumbangan dari Kabupaten Gianyar, pada bagian timur kompleks candi, pada punden lebih tinggi daripada bangunan kubus. 

Susunan bangunan

dokpri

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline