Lihat ke Halaman Asli

Kicau Kacau

Pecinta Bintang

Dilema Ojek Daring dan Evolusi Transportasi Umum di Jakarta

Diperbarui: 16 Januari 2019   09:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: Dokumen Pribadi

Jakarta sempat berbenah. Kemacetan di jalan raya yang sudah makin tak tertahankan membuat tiap periode gubernurnya menjanjikan angkutan umum yang lebih baik. Sebutlah TransJakarta yang mulai diperkenalkan pada tahun 2004. Angkutan umum ini sempat berhasil menjadi evolusi dari bus-bus kota di Jakarta yang keadaannya tidak karuan. 

Haltenya yang kinclong dengan dominasi warna perak, memberi kesan milenium yang canggih. Sistem pembayarannya yang memakai kartu khususpun tak ketinggalan ikut memberi kesan bahwa angkutan umum yang ini benar-benar beda! Tak perlu lagi menyiapkan uang receh yang akan dikumpulkan oleh kondektur yang bau matahari. 

Sopirnyapun dididik khusus sehingga layak memakai jas saat mengendarai busnya. Di dalam bus, AC yang dingin, tempat duduk empuk, serta pegangan tangan untuk mereka yang berdiri, membuat publik membayangkan angkutan umum di negara-negara Eropa yang sering terlihat di film-film. Setidaknya pada awal dikenalkan bus TransJakarta benar-benar layak menjadi kebanggaan warga Jakarta.

Namun kemudian, TransJakarta kembali menjadi angkutan umum biasa saja. Jalurnya yang tidak pernah benar-benar steril dari kendaraan lain membuat jadwal keberangkatan dan ketibaan bus ini tidak pernah tepat. Rencana awalnya tentu saja karena bus ini memakai jalur khusus maka dapat dihitung berapa lama bus menghabiskan waktu dari satu titik ke titik lainnya. Namun pada kenyataannya bus ini tetap saja harus berjibaku dengan macetnya Jakarta karena jalurnya sering semena-mena dipenuhi oleh kendaraan lain. Belum lagi memang di beberapa tempat bus TransJakarta harus berbagi dengan kendaraan lain di jalur umum.

Ketidaktepatan jadwal kedatangan dan keberangkatan bus ini kemudian berimbas pada para pemakainya. Seringkali (kalau tidak mau disebut setiap kali) calon penumpang bertumpuk di halte karena bus tak kunjung datang mengangkut. Dan tentu saja, ketika sudah menunggu sekian lama bus baru datang, hukum rimba mulai bicara. Siapa yang kuat mendorong atau tak malu menyerobot antrean maka dia yang akan masuk duluan ke dalam bus dan itu terjadi pada setiap halte yang dilalui.

KRL adalah moda transportasi umum lain yang telah berevolusi. Di Jabodetabek masyarakat mengenalnya sebagai Commuter Line (mungkin lagi-lagi supaya terdengar lebih canggih dan berbudaya) walau dulu namanya lebih Indonesia: "Kereta Rel Listrik Jabodetabek".

Harian Kompas pada 24 Oktober 2018 menurunkan tulisan berjudul "Perubahan Pada Kereta Api" dalam kolom Arsip, yang menggambarkan bahwa dalam 10 tahun terakhir KRL di Jabodetabek telah berbenah dan menjadi angkutan umum yang aman serta nyaman bagi penumpang pada jam-jam tertentu

Kompas menggambarkan bahwa pada tahun 1972 penumpang yang terjatuh dari atap gerbong kereta adalah hal yang wajar. Lalu pada 2008 mulai digalakkan razia tiket, penyemprotan cat pada penumpang yang masih nekat naik ke atap gerbong, serta penambahan paku pada bagian atap gerbong kereta, walau hasilnya masih minim.

Sumber: Kompas.id

Kini di tahun 2018, stasiun KRL Jabodetabek telah steril dari pedagang asongan. Tidak tampak lagi penumpang yang duduk di atap gerbong kereta. Semua masuk dan keluar stasiun dengan menempelkan kartu elektronik yang canggih. Petugas di lapangan sudah tidak lagi berurusan dengan uang. 

Jadwal kedatangan dan keberangkatanpun dapat diakses melalui aplikasi di gawai selain tentunya diumumkan terus-menerus oleh pengeras suara di stasiun oleh mas-mas atau mbak-mbak dengan gaya bicara yang santai dan tidak kaku. KRL Jabodetabek benar-benar berevolusi menjadi angkutan umum yang layak ditumpangi pada jam-jam tertentu di luar jam sibuk.

Lalu bagaimana dengan angkutan umum lain? Tampaknya evolusi memang tak pernah berjalan secara merata. Ada yang berevolusi duluan dan tentu saja ada yang tertinggal di belakang. Di saat dua alat transportasi tadi perlahan berubah jadi lebih baik, di tengah Ibu Kota ini masih saja ada bus-bus dengan asap hitam yang mengepul pekat dari knalpotnya. Beberapa tampak miring karena beban yang berlebihan. Beberapa lagi tampak reot karena cat yang sudah ditumpuk entah berapa kali mulai lepas dan menunjukkan karat aslinya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline