Lihat ke Halaman Asli

Naoumi Fatya Ardini

Mahasiswa Universitas Nasional

Polarisasi dan Identitas Politik Mengancam Demokrasi: Pencegahan Polarisasi Politik di Pemilu yang Akan Datang

Diperbarui: 12 Mei 2022   14:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Nama    : Naoumi Fatya Ardini

NPM      : 203516516193

Prodi     : Ilmu Komunikasi

Universita Nasional 

Polarisasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah pembagian atas dua bagian (kelompok yang berkepentingan dan sebagainya) yang berlawanan. Polarisasi politik memiliki definisi dua kelompok yang memiliki paham dan pandangan yang berbeda dalam kaitannya dengan politik. Polarisasi politik ini juga lah yang akan menjadi penentu pemimpin di masa depan. 

Polarisasi di Indonesia bukanlah hal yang baru. Tetapi dalam situasi krisis seperti pandemi saat ini polarisasi kian menajam, tentunya hal ini menjadi pertimbangan pemilu pada masa yang akan datang. 

Pada Pilpres lalu, Kementrian Komunikasi dan Informatika mencatat 2.256 hoax di berbagai platform media sosial. dari angka tersebut, 916 diantaranya tergolong hoax politik. Sementara itu, Masyarakat Anti fitnah Indonesia dalam laporannya mengungkapkan 997 hoax  dengan 488 diantaranya hoax terkait politik. Hal ini yang menjadikan polarisasi semakin menajam.

Sepanjang kampanye pilpres sebelumnya, Perludem terlihat banyak sekali kampanye hitam, negatif, berita bohong hingga fitnah melalui media sosial. Kampanye pemilu merupakan bagian dari pendidikan politik masyarakat dan dilakukan secara tanggung jawab. Tapi yang terjadi justru ruang media sosial dijadikan sarana untuk menyebar luaskan pesan terkait SARA. 

Ada beberapa temuan riset yang sangat penting untuk menjadi perhatian serius bukan saja oleh tim paslon tetapi juga para pemangku kepentingan dalam pemilu yang akan datang. Pertama, konteks kontestasi saat pilpres saat ini merupakan residu dari tajamnya polarisasi politik dan politasi isu-isu identitas yang terjadi selama pilpres sebelumnya.

 Dengan kata lain, ada semacam dinamika yang kontestasi dan polarisasi yang terus dirawat. Kedua, desain elektoral yang menetapkan adanya presidential thresholfd turut meningkatkan intensitas polarisasi politik, karena secara politis hanya membuka peluang munculnya dua kandidat. 

Ketiga, fenomena Industri Konsutan Politik, Influnser, dan buzzer dalam kampanye digital paslon. Selain berperan penting dalam menentukan produksi isu dan amplifikasi konten kampanye di platform digital, peran mereka juga turut memperburuk palrisasi politik dan politasi isu-isu identitas. kita dapat melihat secara nyata setiap isu-isu non-programtik terus di reproduksi dan diglorifikasi oleh cyber army masing-masing kubu. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline