Lihat ke Halaman Asli

Nana Marcecilia

TERVERIFIKASI

Menikmati berjalannya waktu

Jangan Biarkan Pahlawan Indonesia Meneteskan Darah Sia-sia

Diperbarui: 24 Mei 2019   22:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

MERDEKAA !! MERDEKAA !!

Itulah seruan Rakyat Indonesia di tahun 1945, dari lapisan yang paling bawah sampai lapisan paling atas. 

Kata Merdeka tidak hanya diserukan saja, namun juga diiringi dengan air mata penuh haru. 350 tahun Indonesia telah dijajah Belanda, dan 3.5 tahun lamanya Indonesia dijajah Jepang. Akhirnya mulai tanggal 17 Agustus 1945, rakyat Indonesia benar-benar bebas dari penjajahan negara lain, tidak ada lagi rasa sakit, tidak ada lagi penindasan dan tidak ada lagi rasa kehilangan yang teramat sangat,

Sebenarnya perjuangan bangsa kita tidak dari perang dunia I saja, akan tetapi sudah dari zaman Kerajaan Islam di Indonesia, dimana para penjajah mendarat ke Indonesia. Dimulai dari Bangsa Portugis, Spanyol, Inggris, kemudian Belanda, dan penjajahan yang paling lama bertahan adalah Belanda. Namun, bangsa kita saat itu sama sekali belum mengenal namanya kata Persatuan, bahkan Indonesia saja masih terbagi atas beberapa kerajaan yang masih berkuasa di wilayah masing-masing.

Pada kerajaan tersebut ada yang berhasil mengusir penjajah, ada juga yang tidak berhasil. Tidak berhasil, biasanya karena penjajah Belanda misalnya, menggunakan taktik Devide et Impera, yaitu adu domba. Karena tidak ada rasa persatuan lah, dan rasa saling menggenggam erat tangan antar sesama yang sedarah dan setanah air, sangat mudah sekali mereka dikerjai oleh si Belanda. 

Yang sangat tragis, ada satu kerajaan di Makassar, mereka memiliki Sultan yang sangat berani dan sangat mencintai rakyatnya. Rakyatnya pun sangat patuh terhadapnya dan setiap kebijaksanaannya selalu didukung penuh oleh rakyatnya, Sultan Hasanuddin namanya, Kolonial Belanda menyebutnya Si Ayam Jago dari Timur. Beliau berhasil mengusir Kolonial Belanda dari tanah Makassar. 

Tapi namanya Kolonial Belanda, kalau belum benar-benar menang tidak akan pernah menyerah, mereka memanggil sang adik Sultan untuk bekerja sama dan mengiming-imingi kekuasaan menggantikan sang Sultan. 

Namanya manusia, rasa haus kekuasaan pasti ada, sang adik mau saja diperintah oleh Belanda. Kemudian Belanda dan Adik Sultan mulai merencanakan rencana setannya. Ketika rencana mereka berjalan dengan mulus, Sultan Hasanuddin sangatlah marah, namun sudah tidak bisa berbuat apa-apa, karena kalau Sultan terus melawan, maka rakyat Makassar pada saat itu akan dibunuh semua oleh Belanda. Menyerah dengan tangan kosong, itulah yang hanya bisa dilakukan oleh Sultan Hasanuddin, demi keselamatan rakyatnya. 

Sang adik Sultan melihat hal tersebut benar-benar menyesal karena hausnya ia akan kekuasaan. Ia meminta Belanda untuk menarik kembali pasukannya dan memaafkan sang Sultan. Tentu saja, mana mau Kolonial Belanda melepaskan kesempatan untuk menjajah tanah Makassar lebih jauh. 

Didepan mata kepalanya sendiri, sang Adik menyaksikan Sultan Hasanuddin dalam keadaan terluka parah dan memelas dipaksa untuk menyerahkan tanah kekuasaannya melalui Perjanjian Bongaya. Kolonial Belanda menyebutnya sebagai perjanjian damai, namun sebenarnya isi dari perjanjian tersebut adalah deklarasi kekalahan Kerajaan Gowa terhadap Kolonial Belanda. 

Sedih bukan kepalang sang Adik melihat Sultan Hasanuddin harus menyerahkan kekuasaannya kepada Belanda begitu saja, dan setelah perjanjian ditandatangani, Sultan Hasanuddin di hukum mati. Itulah buah pengkhianatan. Ia harus melihat saudaranya sendiri dibunuh, dan ia tidak mendapatkan apa-apa, selain hanya menjadi kacung Kolonial Belanda.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline