Lihat ke Halaman Asli

Membandingkan Hukuman Penoda Agama di Indonesia dan Pakistan

Diperbarui: 26 Maret 2022   19:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kasus penistaan agama yang kerap terjadi di Indonesia dan menimpa sejumlah tokoh atau orang-orang tertentu terus saja berlanjut. Kasus yang terbaru adalah tentang seorang pendeta yang bernama Abraham bin Moses yang meminta kepada pemerintah melalui Kementerian Agama untuk merevisi ayat-ayat Al-Qur'an. Permintaan ini didasari karena seiring munculnya gerakan ekstrimis atau radikalisme di Indonesia. Lantas, permintaan ini justru dikecam karena dapat menimbulkan rasa kebencian terhadap umat muslim di Indonesia dan dunia.

Tidak hanya itu, sebelumnya pada bulan Februari lalu, pernyataan Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas juga "dikategorikan" sebagai penistaan agama. Gus Yaqut, sapaannya berkali-kali dilaporkan atas ucapannya yang dinilai dapat memicu kebencian terhadap umat islam. Yaqut berkomentar mengenai suara adzan yang disamakan dengan gonggongan anjing. "Yang paling sederhana lagi, tetangga kita ini, kalau kita hidup dalam satu kompleks gitu misalnya, kiri kanan depan belakang pelihara anjing semua. Misalnya, menggonggong dalam waktu yang bersamaan, kita ini terganggu nggak?" sambung Menag Yaqut.

Reaksi dari berbagai kalangan pun muncul seperti menuntut untuk mundur dan memidanakan Ketum GP Ansor ini. Tidak tanggung-tanggung, LKAAM atau Lembaga Kerapatan Adat dan Alam Minangkabau mengeluarkan pernyataan bahwa beliau akan mengharamkan Yaqut untuk menginjakkan kakinya di Ranah Minang. "Sudah kebangetan sekali apa yang disampaikannya. Haram hukumnya bagi Menteri Agama menginjak Tanah Minangkabau. Haram, menginjak Minangkabau," katanya kepada wartawan, Kamis (24/2).

Belajar dari kasus-kasus ini, kita diingatkan bahwa kasus menistakan suatu agama tertentu memang merupakan tindakan yang dilarang di Indonesia dan bisa dijatuhi hukuman pidana. Salah satu yang sudah pernah dipidanakan adalah Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang pada saat itu menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, divonis 2 tahun atas kasus penistaan agama ketika sedang melakukan kunjungan kerja ke Pulau Seribu pada tahun 2016 silam. Ahok kemudian bebas pada awal 2019.

Hanya saja, di Indonesia, penerapan hukuman mati terhadap penista agama memang dinilai masih belum, atau bahkan dikatakan tidak pantas karena Indonesia bukanlah negara Islam, sehingga karena dari sini, masyarakat atau publik lebih bebas mengkritik, memandang atau berkomentar sesuatu yang sebenarnya dikategorikan penistaan agama karena lemahnya penerapan hukum di Indonesia.

Lalu, negara apa saja yang menerapkan hukuman mati bagi pelaku penistaan agama? Salah satunya adalah Pakistan. Sebagai negara islam terbesar kedua di dunia setelah Indonesia, hukum yang diterapkan di Pakistan adalah hukum Islam. Hukum ini tidak hanya diterapkan dalam penistaan agama, tapi juga dalam masalah perkawinan, dsb. Di Pakistan, perkawinan sesama jenis atau beda agama merupakan tindakan yang tidak dapat ditolerir disana.

Salah satu kasus yang membuat adanya hukuman mati disana adalah ketika seseorang kepala sekolah disana mengaku sebagai Nabi, dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan setempat. Mengutip Tribune.pk, Rabu (29/9/2021), kasus ini bermula saat Salma, pada 3 September 2013, menerbitkan dan mendistribusikan sebuah pamflet di daerah dekat kediamannya di Lahore, Pakistan. Saat itu ia menyangkal Finalitas Kenabian. Pamflet itu juga berisi kata-kata yang menghina Nabi Muhammad (SAW), mengklaim kenabiannya dan menyebut dirinya Rahmatul Alamin (rahmat bagi seluruh alam). Penduduk daerah tersebut mengajukan First Information Report (FIR) atau laporan awal terhadap terdakwa, setelah polisi setempat menangkap kepala sekolah itu. Polisi Nishtar Colony juga menyatakan dia bersalah selama penyelidikan.

Nah, akibat dari adanya penerapan hukuman mati di Pakistan ini, banyak sekali kasus-kasus kekerasan yang lebih ekstrem yang dimana itu hanya untuk membela agama. Salah satu kasus yang terjadi saat itu adalah ketika seorang manajer asal Sri Lanka yang bekerja di Sialkot, Punjab tewas dianiaya & dibakar oleh massa. Penyebabnya, adalah dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh pelaku ketika sedang menurunkan poster yang bertuliskan Nabi Muhammad SAW. Pada saat itu, gedung kantornya sedang mengalami proses renovasi sehingga poster itu harus dipindahkan. Tak lama setelah itu, seorang pekerja yang memiliki dendam pribadi memancing kerumunan massa dan akhirnya menggunakan tuduhan penistaan agama itu untuk melancarkan kekerasan itu.

Atas kasus itu, memicu berbagai reaksi baik dari dalam dan luar negeri. PM Pakistan, Imran Khan menegaskan bahwa negaranya tidak akan berhenti dalam memerangi radikalisme dan menyebut peristiwa itu merupakan peristiwa yang memalukan bagi Pakistan. "Hukuman mati tanpa pengadilan akan ditangani dengan hukuman berat. Kami tidak punya toleransi terhadap orang-orang yang main hakim sendiri," tandas Khan.

Dari luar negeri, Presiden Rusia Vladimir Putin juga berujar bahwa penghinaan Nabi Muhammad SAW bukanlah bagian dari kebebasan berekspresi dan dapat memicu rasa kebencian terhadap umat Islam dan seluruh dunia. "Menghina Nabi Muhammad? Apakah ini kebebasan berekspresi? Saya kira tidak, ini adalah pelanggaran kebebasan beragama dan pelanggaran perasaan suci orang-orang yang memeluk Islam," tutur Putin. Dia menambahkan, penghinaan tersebut justru menghidupkan dan menyemai ekstremisme yang lebih akut. Putin mencontohkan seperti kasus penyerangan Charlie Hebdo di Paris setelah media satire itu menerbitkan karikatur Nabi Muhammad.

Pernyataan Putin justru disambut baik oleh Imran Khan melalui Twitter karena Putin paham dan mengerti perasaan umat Islam ketika nabinya dihina. "Kami Muslim, terutama para pemimpin negara Muslim, harus menyebarkan pesan ini kepada para pemimpin dunia non-Muslim untuk melawan Islamofobia," kata Khan. Sehingga, berkaca dari sini, seperti kasus penganiayaan yang dialami oleh M Kace dari Irjen Napoleon, dianggap masih terbilang kecil dan tidak ada apa-apanya dibanding yang dialami di Pakistan. Di Pakistan, kasus-kasus seperti itu sudah dibilang sangat umum dan kerap ditemui setiap harinya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline