Lihat ke Halaman Asli

Ibnu Abdillah

... kau tak mampu mempertahankan usiamu, kecuali amal, karya dan tulisanmu!

Dunia Digital: Membangkitkan Lagu Daerah bagi Kaum Milenial

Diperbarui: 29 Agustus 2019   01:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tong-tong - kamerabudaya.com

Dulu, sekitar 17-19 tahun yang lalu, lamat-lamat masih saya dengarkan Yamko Rambe Yamko, lagu daerah Papua dan Ampar-ampar Pisang dari Kalimantan Selatan. 

Saya yang tinggal di kampung nun jauh di Madura sana, saat itu, dengan keterbatasan yang ada karena hanya ada televisi sebagai sarana masih bisa mendengarkan beberapa lagu daerah dari daerah-daerah yang lainnya di Indonesia. Tentu saja Kicir-kicir sebagai salah satu lagu derah Ibu Kota, Jakarta.

Sedikit-sedikit, dengan lirik yang asal karena hanya mendengarkan, bisa juga menirukan dan menyanyikannya. Paling apesnya tahu lagu dan menirukannya tanpa lirik alias hanya menggerutu. Ber-hmm, hmm, hmm, seperti Nisa Sabyan.

Namun realitasnya, saat ini lagu daerah semakin payah. Nasibnya, bahkan lebih tragis dibandingkan lagu anak dan digadang-gadang akan segera punah. Jarang sekali kita mendengar lagu "Gundul-gundul Pacul" dari Jateng, "Anak Kambing Saya" dan "Potong Bebek Angsa" dari NTT, "Sinanggar Tullo" dari Sumut, atau mungkin "Soleram" dari Riau. Bahkan lagu "Rasa Sayange" dari Maluku harus "dibajak" oleh Malaysia dulu baru dihebohkan seantero. Setelah kembali ke pangkuan, lagi-lagi dilupakan.

Wajar saja sebenarnya jika itu terjadi sebab hal itu seakan mudah diprediksi. Lagu daerah telah menjadi barang aneh dan mulai terlupakan, bahkan oleh putra-putra daerahnya sendiri. Ia akan menjadi barang langka, serupa ornamen yang hanya bisa dinikmati pada momen-momen tertentu saja. Semakin menyedihkan ketika bangsa ini mulai lupa, justru bangsa lain yang mengingatnya. Mengapresiasi lagu daerah dalam bentuk orkestra. Bisa dibaca disini (4 Lagu Daerah Mendunia)

Lagu daerah ditenggelamkan oleh lagu-lagu yang berhasil menjajah para milenial melalui dunia digital. Sebuah fenomena yang jamak ditemui ketika kebudayaan lokal ditindas oleh kebudayaan impor yang datang dengan aura lebih "menjanjikan" dan menyenangkan sekaligus menyedihkan, pada sisi tertentu. Seakan ada "pembiaran".

Justru itu masalahnya kenapa tak banyak milenial yang bisa menikmati lagu daerah dengan sebegitunya karena lagu daerah tak berbicara soal, yang dianggap lekat dengan, kehidupannya seperti cinta, misalnya. Ia tidak seperti lagu lain dengan susunan kata mendayu-dayu yang bisa dipersembahkan untuk pujaan hati, misalnya. 

Kebanyakan milenial, dengan insting musik kekinian cenderung lebih menyukai sesuatu yang menyentuh hatinya, sementara lagu daerah cenderung berbicara soal sejarah. Tak ada "feel" disana, tak menyentuh bagi mereka. Lagu daerah kerap berbicara makna yang dalam, memang, tapi pada sisi yang tidak diinginkan oleh kaum milenial.

Padahal dengan pesatnya perkembangan dunia digital, mestinya itu membuka peluang untuk memperkenalkan lagu-lagu daerah menjadi lebih bergairah. Dengan menjamurnya generasi milenial yang akrab dengan industri 4.0, harusnya ada kesempatan yang lebih banyak untuk membangkitkan lagu daerah dari ketak-berdayaannya.

Lalu, apa yang bisa dilakukan?

Pertama, pentingnya dukungan dari pemerintah melalui Kemenpar, Kemendikbud, BeKraf, dan Pemerintah Daerah masing-masing. Dukungan ini menjadi mutlak diperlukan karena pada merekalah kebijakan untuk membangkitkan lagu daerah itu ditemukan. Mereka memiliki cara melalui regulasi dan aturan perundang-undangan saat yang lain hanya bisa mengajukan dan mengusulkan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline