Lihat ke Halaman Asli

Muliadi Kurdi

Biodata Singkat

Ar-Raniry, Mufti Kesultanan Aceh Darussalam

Diperbarui: 12 Maret 2020   16:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

NURUDDIN AR-RANIRY (Ar-Raniry) mufti kesultanan Aceh masa Sultan Iskandar Tsani (1636-1641).  Dalam bidang fikih ia pengikut mazhab Imam Asy-Syafi'i dan kalam bermazhab Asy'ariyah. Dalam sejarah Aceh, ulama ini paling banyak menulis.

Puluhan kitab pernah dihasilkan baik ketika sebelum ia ke Aceh maupun sejak menetap di Aceh. Tentang tahun kelahiran Nuruddin tidak diketahui secara pasti namun diperkirakan ia lahir pada pertengahan kedua abad XVI Masehi di Ranir (Randir), sebuah kota pelabuhan tua di Pantai Gujarat. Ibunya seorang keturunan Melayu, sementara ayahnya berasal dari keluarga imigran Hadhramaut (Al-Attas, 1199). Asal usul beliau adalah keturunan Arab dari Quraisy, kemudian pindah ke India. 

Tetapi salah seorang muridnya bernama Muhammad 'Ali atau Manshur yang digelarkan dengan Megat Sati ibnu Amir Sulaiman ibnu Sa'id Ja'far Shadiq ibnu 'Abdullah dalam karyanya, "Syarab al-'Arifin li Ahli al-Washilin" menyebutkan,"...."bahawa Syeikh Nuruddin ar-Raniry adalah Raniri negerinya, Syafi'i nama mazhabnya, Bakri bangsanya..."

Nama Nuruddin mulai mencuat ke permukaan dengan sebutan Syeikh Nuruddin Ar-Raniry setelah ia menulis beberapa kitab terkenal atas pemintaan Sultan Iskandar Tsani. Nama lengkapnya Nuruddin Muhammad bin Ali bin Hasanji bin Muhammad Hamid Ar-Raniry al-Quraisyi Asy-Syafi'i. Tanggal dan tahun kelahirannya tidak disebutkan, tapi ia lahir di Ranir, dekat Surat di Gujarat. G.W.J. Drewes menjelaskan ar-Raniry itu berasal dari Ranir yang terletak di Gujarat India, sekarang daerah tersebut disebut Rander (Zakaria Ahmad, 1972).

Nuruddin mengecap pendidikan awal di daerah Ranir. Di sini ia memperoleh pendidikan agama sebelum melanjutkan pendidikan ke Tahrim, Arab Selatan, yang pada waktu itu daerah ini merupakan salah satu pusat studi Islam terbesar. Pada tahun 1030 H (1621 M), sebelum kembali ke kampung halamannya, India, ia menuju ke Mekkah dan Madinah untuk mendalami pengetahuan agama, menunaikan ibadah haji dan menziarahi makam Rasulullah Saw. (A. Daudy,1978).

Setelah belajar ilmu agama di Timur Tengah, Nuruddin diakui oleh masyarakat Islam sebagai seorang 'alim atau ulama. Ia tidak hanya 'alim dalam menguasai ilmu-ilmu fiqh tapi juga 'alim di dalam berfikir dan 'alim di dalam tahriqat. Ini dapat dibuktikan kebesaran namanya mampu mengundang kekaguman banyak sarjana menulis tentang dirinya seperti sarjana asal Belanda P. Voorhoeve dalam tulisannya menulis, Van en Over Nuruddin Ar-Raniry, BKI 107, 1951; Korte Mededelingen, BKI 115, 1959, dan Twee Maleische Geschriften van Nuruddin ar-Raniry, Leiden, E.J. Brill, 1955. G.W.J. 

Drewes dalam tulisannya, De Herkomst van Nuruddin Ar-Raniry, BKI 111, 1955. C.A.O van Nieuwenhuijze dalam karyanya, Nuruddin Ar-Raniry als Bestrijder de Wugudija, BKI 104, 1948. Kemudian tentang Nuruddin juga ditulis oleh Ph.S van Ronket, H.Kraemer, Snouck Hurgronje dan lain sebagainya.            

Dari kalangan sarjana Indonesia juga itu ambil bagian menulis tentang Nuruddin Ar-Raniry antara lain: R.Hoesin Djajadiningrat dalam karyanya, Critisch overzicht van de in Maleische werken vervatte gegeven pan het Sultanaat van Aceh, BKI 65, 1911. Kemudian dalam Tujimah (ed) dibawah judul, Asrar al-Insan fi Ar-Ruh wa Ar-rahman, Jakarta, 1960 (A. Daudy, 1978).

Sembilan tahun sebelum tibanya di Aceh bertepatan dengan tahun 1628 M, Nuruddin menyelesaikan karya pertamanya, "Sirathul Mustaqim" artinya jalan yang lurus. Kitab ini menjelaskan tentang pokok-pokok ajaran Islam. Di samping kitab ini Nuruddin telah menulis pula kitab pelajaran agama, "Syarah aqaid an-Nafsiah". Kitab ini merupakan salah satu karya terkenal, Saaduddin Mas'ud al-Taftazani yang pernah diminta oleh raja Timurlenk supaya tinggal di kota Samarkand (Zakaria Ahmad, 1972).

Nuruddin tiba di Aceh pada 6 Muharram 1047 H bertepatan 31 Mei 1637 M. beberapa bulan kemudian pada 17 Syawal 1047 H atas permintaan iskandar Tsani ia menyusun kitab,  "Bustanul Thalathin" artinya kebun raja-raja. Kitab ini paling terkenal baik di kalangan istana maupun pembesar-pembesar Aceh kala itu. Pada pasal pertama dari kitab ini memuat tentang sejarah terjadinya bumi dan langit menurut kepercayaan islam. 

Pada bagian kedua berisikan riwayat nabi-nabi mulai dari nabi Adam as. sampai Nabi Mauhammas saw., dari zaman raja-raja Persi sampai kepada zaman Umar bin Khathab, dari zaman Kaisar Bizantium sampai ke masa Nabi Muhammad, dari zaman raja-raja Mesir samaipai ke zaman raja Zulkarnain, dari zaman raja-raja Arab sebelum Islam sampai ke zaman Nedjed, Hidjaz dan zaman nabi Muhammad saw. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline