Lihat ke Halaman Asli

Ibra Alfaroug

TERVERIFIKASI

Dikenal Sebagai Negara Agraris, Namun Dunia Tani Kita Masih Saja Ironis

Identitas Budaya Antara Hilang atau Bertahan

Diperbarui: 18 Juli 2019   07:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

suaramerdeka.com

Semakin berkembangnya zaman semakin berkembang pula prilaku kehidupan manusia. Yang dulu dianggap tabu mungkin saat ini bisa dikatakan suatu kelaziman. Perubahan ini secara langsung dapat dirasakan pada diri kita dan sekitar lingkungan tempat tinggal.

Misalnya sesuatu yang dianggap kolot seiring waktu berubah menjadi 'trend' di masyarakat. Seperti wanita kalau dahulu dianggap tidak elok menyapa seorang laki-laki yang tidak dikenal karena secara nilai dan etika dianggap sebuah aib. Merendahkan derajatnya sendiri. Apalagi sampat berkunjung dan berdua-duan dirumah kosong. Tapi, saat ini mungkin bisa jadi hal yang lazim untuk dilakukan.

Dinamika perubahan ini berlahan-lahan seperti terjadi. Kuno sesuai dengan perkembangan zamannya. Dan modern begitu juga. Kini dianggap baik belum tentu untuk besok, buruk untuk saat ini belum tentu juga dianggap buruk untuk lusa hari.

Pergeseran tata nilai budaya seakan menerpa bak badai melanda. Khazanah kearifan budaya luhur tergerus dan seakan pudar dari cahaya. Dari aneka warna-warna baru yang datang bermunculan. Bahkan dapat merubah secara keseluruhan beberapa pusaka yang diwariskan pendahulu.

Secara humanis ataupun kemajuan, jelas ada beberapa kearifan lokal yang harus dihilangkan atau dirubah. Karena terkandung unsur-unsur tidak manusiawi, etis atau tidak layak untuk dipertahankan. Tapi, tidak semua warisan para leluhur dianggap tidak baik. Ada sisi yang mesti dilestarikan atau dirubah kepada yang lebih baik.

Contonya dalam Suku Rejang yang saya dapati cerita dari para tetua Desa. Yaitu budaya "bleket". Bleket merupakan suatu tardisi pernikahan zaman dahulu. Dimana seorang laki-laki ataupun wanita ketika menikah seperti terjual oleh keluarga dengan mahar yang disepakati. Kepada pihak mempelainya. Dan konsekuensi yang "bleket" seakan putus hubungan persaudaraan dengan keluarganya. Dan menjadi keluarga utuh yang membeli.

Hubungan keluarga yang terputus hanya bisa disatukan dengan "jur'i" kalau tak salah begitu tulisannya, karena diucap dengan dialek Rejang sedikit susah untuk dirangkai dalam ejaan. Jur'I adalah keturunan mempelai yang akan merekatnya kembali. Dengan kata pulang ke daerah/keluarga asal yang "bleket". Ke rumah keluarga yang menjual, ini yang akan menjadi perantara dan penuntun silahturahim dalam merajut keterputusan hubungan selama ini.

Tapi, saat ini "bleket" telah dihilangkan dan diganti dengan cara yang baru yaitu "semendo rajo-rajo". Semendo rajo-rajo adalah kedua mempelai tidak dijual ataupun terbeli tapi mereka bebas menetukan untuk ikut siapa. Mau ikut pihak mempelai laki-laki dibolehkan, ikut pihak wanita tidak dipersoalkan. Dan menyatukan kedua keluarga besanan.

Inilah sebuah contoh budaya yang telah dihilangkan atau dirobah. Mungkin di setiap daerah pasti ada beberapa budaya masih dianggap bertentangan dengan kelaziman yang baik. Yang perlu dilakukan perobahan atau mungkin tetap dipertahankan sepanjang hayat. Walau terkadang berkesan tidak adil oleh sebagian pihak. Khususnya para wanita yang sering "timpang" dan jadi korban akan tradisi para leluhur.

Dalam hal ini menjadi catatan penulis yang mesti digaris bawahi bahwa budaya atau tradisi adalah sesuatu yang sangat berharga dari pendahulu untuk kita. Yang mesti dijaga dan dilestarikan. Tapi juga harus melihat sisi kebaikan dan sisi keburukan mana yang perlu dilestarikan dan mana yang harus dihilangkan.

Ambil yang Baik Tinggalkan yang Buruk

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline