Malam itu, ketika Damar memutuskan untuk pulang melewati jalan pintas di tengah kebun bambu, ia tak tahu bahwa malam itu adalah Jumat Kliwon. Dalam gelap dan sunyi, ia mendengar suara-suara yang seharusnya tak ada. Lamat-lamat, lantunan kuno terdengar dari arah pohon beringin tua. Lampu motornya redup sendiri. Dan ketika ia menoleh ke kaca spion..Setelah malam itu, ia tak pernah jadi orang yang sama.
Jam menunjukkan pukul 11 malam lewat sedikit saat Damar keluar dari rumah temannya di dusun sebelah. Mereka baru saja menyelesaikan tugas kelompok, dan Damar memilih pulang lewat jalan pintas, melewati kebun bambu dan makam tua di tengah sawah. Lebih cepat sepuluh menit daripada rute biasa, katanya dalam hati.
Langit malam tampak kelam. Tidak ada bintang, dan bulan pun tertutup awan. Angin bertiup lembut, membawa aroma tanah basah dan daun kering. Udara malam terasa lebih dingin dari biasanya. Daun bambu berbisik lirih ketika angin lewat, seperti seseorang yang menggumamkan doa dalam bahasa yang mulai jarang digunakan.
Tapi Damar bukan orang yang gampang takut.
Jalan itu sudah tak asing baginya. Tapi biasanya ia melewatinya saat sore atau menjelang magrib. Bukan larut malam seperti ini.
Dan tentu saja, ia lupa satu hal penting.
Malam itu adalah Jumat Kliwon.
Kebun Bambu
Begitu ban motornya menyentuh tanah di kebun bambu, udara seolah berubah. Lebih dingin, lebih senyap. Jangkrik yang biasa ramai tiba-tiba diam. Angin seolah terhenti.
Damar mempercepat laju motor.
Tapi lampu depan motornya mendadak meredup sendiri. Cahaya kuningnya hanya menjangkau semeter ke depan. Ia mengernyit, menurunkan kecepatan, lalu mematikan mesin sebentar.
“Mungkin aki-nya ngaco,” pikirnya.