Lihat ke Halaman Asli

Muh Arbain Mahmud

Perimba Autis - Altruis, Pejalan Ekoteologi Nusantara : mendaras Ayat-Ayat Semesta

Hutan Sosial di Hutan Larangan

Diperbarui: 11 September 2017   09:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(Solusi Kelola Hutan Lindung Ternate)

 Pada tanggal 6 -- 8 September 2017 lalu diselenggarakan Festival Perhutanan Sosial Nusantara (PeSoNa) di Gedung Manggala Wanabhakti, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bertema "Ini Saatnya untuk Rakyat". Melalui term 'Hutan Larangan' (Malut Post,03-12-2014) penulis pernah mengulas pengelolaan Hutan Lindung (HL) di Ternate seluas 3.645,4 hektar atau 22,16 % dari total luas kawasan hutan Ternate (16.448,3 ha).

Pada kesempatan ini, penulis kembali mengulas pengelolaan 'Hutan Larangan' tersebut dengan mengangkat isu perhutanan sosial (social forestry) di Ternate.

 

Forest for People : Sebuah Filosofi

Pembangunan kehutanan menjelang keruntuhan Orde Baru (Orba) telah mengalami pergeseran paradigma, dari Timber Based Forest Management(TBFM) ke Community Based Forest Management(CBFM).Sederhananya, terjadi perubahan orientasi pengelolaan hutan dari berbasis kayu (industri) untuk keuntungan ekonomi an sichmenjadi pengelolaan hutan berbasis (pemberdayaan) masyarakat. Pun perubahan paradigma sentralistik oleh negara ke arah pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Isu perhutanan sosial telah bergulir sejak Kongres Kehutanan se-Dunia pada 1978 di Jakarta bertema Forest for People. Dalam kongres itu seluruh pemimpin dunia bersepakat, pengelolaan hutan harus ditujukan untuk peningkatan kesejahteraan rakyat terutama masyarakat miskin di sekitar hutan. Semangat Forest for Peopleini ikut pula mendorong berbagai negara dengan ragam pola, seperti Tanzania, India dan Filipina.

Sejak Kongres tersebut Pemerintah mengembangkan Perhutanan Sosial selama 3 (tiga) periode, yakni masa Orba (1970an-1980an) relatif top down, masa Transisi (1980an-1990an) dengan pelibatan masyarakat lebih besar, dan masa Reformasi (1990an-2000an) menuju masyarakat sebagai pengelola hutan (Ismatul Hakim, dkk., 2010).

Menurut Yurdi Yasmi, dengan semangat Forest for People, pengembangan kehutanan di era desentralisasi perlu lima syarat : 1) membangun kelembagaan kehutanan yang kuat dan kredibel (strong and credible forestry institutions); 2) penguatan dan penyempurnaan proses desentralisasi kehutanan; 3) penyelarasan kebijakan sektor kehutanan; 4) penerapan hukum; dan 5) peran serta civil society (Banjarmasin Post,22-11-2007 /www.cifor.org).

Social Forestry -- Community Forest : Sebuah Inisiasi

Social forestry(kehutanan sosial) merupakan kebijakan pembangunan kehutanan ditujukan untuk mendorong terwujudnya sistem usaha kehutanan yang berdaya saing, kelola kawasan dan kelembagaan berbasis masyarakat setempat dengan mensinergikan berbagai potensi yang ada, yaitu sumberdaya pemerintah, swasta dan masyarakat serta sumberdaya alam.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline