Lihat ke Halaman Asli

muhammad sadji

pensiunan yang selalu ingin aktif berliterasi

Kenapa Bukan Soekarnopura?

Diperbarui: 23 Mei 2022   23:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Prosesi Kendi Nusantara Digelar Jokowi di Titik Nol IKN (Arsip Biro Pers Sekretariat Presiden)

 Presiden Joko Widodo pada hari Jum'at 15 Januari 2022, telah menetapkan ibukota baru NKRI di Kalimantan Timur dengan nama "Nusantara". Nama tersebut dikabarkan dipilih dari lebih 80 nama yang diusulkan. 

Kompas TV pada tanggal 18 Januari 2022 menyiarkan perdebatan antara sejarawan LIPI Dr. Asvi Marwan Adam (AMA) dan anggota Fraksi PKS - DPR Suryadi. 

Menurut AMA, nama Nusantara tersebut sangat tepat karena sudah dikenal sejak masa Majapahit.  

Nusantara merupakan sinonim dari Indonesia, sudah disebut oleh Ki Hadjar Dewantoro sejak masa pergerakan kemerdekaan dan secara geografis pilihan lokasinya terletak di tengah-tengah Indonesia. 

Juga Presiden kelima RI Megawati Sukarnoputri telah menetapkan Hari Nusantara yang jatuh pada tanggal 13 Desember untuk mengukuhkan dan mengenang Deklarasi Juanda tahun 1957 yang menetapkan bahwa pulau-pulau dan laut yang menhubungkan adalah merupakan wilayah Nusantara. 

Sedangkan Suryadi menyatakan penolakan karena menganggap pemindahan ibukota negara merupakan kebijakan yang buru-buru dan masih perlu didiskusikan secara luas. Nama Nusantara katanya mengandung sejarah penaklukan sehingga dikhawatirkan timbul masalah di kemudian hari.

Sebelumnya, penulis pernah mengusulkan agar ibukota baru NKRI diberi nama "Sukarnopura" dengan pertimbangan atau alasan sebagai berikut :

Pertama. Pada waktu menyelenggarakan Konperensi Islam Asia -Afrika (KIAA) tahun 1965 di Jakarta, salah satu keputusannya menetapkan Dr. Ir. Sukarno sebagai Pahlawan Islam dan Kemerdekaan. Oleh karena itu tidak heran apabila ada jalan raya di sejumlah negara Islam misalnya Mesir, Libya, Pakistan dan Maroko mengabadikan nama Sukarno.

Kedua. Pada waktu mengikuti pendidikan di Akademi Minyak dan Gas Bumi (AKAMIGAS) Cepu tahun 1973-1975, ada salah seorang dosen yang bernama Ir. Djafar Lawira, beristerikan wanita Rumania. 

Ibu Djafar ini pernah bercerita bahwa dia tertarik pada pak Djafar karena  waktu tugas belajar di Rumania, sehari-hari sering mengenakan peci Sukarno. Ibu ini ternyata salah seorang asing yang mengagumi Dr. Ir. Sukarno.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline