Lihat ke Halaman Asli

Muh Khamdan

TERVERIFIKASI

Researcher / Analis Kebijakan Publik

Mathew Baker, Garuda Muda yang Menampar Ambisi Australia

Diperbarui: 12 April 2025   19:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mathew Ryan Baker Sitorus, diaspora muda terlahir di Australia pada 13 Mei 2009 (Sumber: jccnetwork.id)

Saat nama Mathew Ryan Baker Sitorus diumumkan sebagai bagian dari Timnas U-17 Indonesia, bukan hanya federasi Australia yang terperangah. Dunia sepak bola Asia Tenggara pun terhenyak. Seorang pemain berdarah Australia-Indonesia, yang telah dirilis menjadi bagian Timnas Australia justru tetap memilih Indonesia. Baker pertama kali membela Indonesia di ajang ASEAN Cup U16 pada 2024. 

Federasi Sepak Bola Australia (FFA) menyadari nilai strategis dari Baker. Dengan teknik mumpuni, visi bermain jernih, dan mental baja sejak belia, ia adalah mutiara. Tak heran, pemanggilan mendadak dari FFA untuk membela Australia U-17 adalah langkah perebutan dalam skema "perebutan identitas nasional sepak bola". Namun saat itu, Baker sudah mantap menjawab panggilan dari PSSI.

Mathew Baker bukan sekadar pemain diaspora. Ia adalah bukti bahwa cinta tanah air tak ditentukan tempat lahir, tapi oleh keberanian memilihnya.

Baker adalah wajah baru dari generasi diaspora. Pemuda berdarah Indonesia dari ibunya ini mengingatkan kita pada Shayne Pattynama yang tampil kalem tapi penuh determinasi, Sandy Walsh yang memilih merah-putih meski tawaran Irlandia terbuka lebar, serta Justin Hubner yang tak pernah takut adu badan di jantung pertahanan. Ia adalah gabungan dari ketiganya, di tubuh seorang remaja 15 tahun yang lahir pada 13 Mei 2009.

Apa yang dilakukan Baker adalah cerminan geopolitik baru dalam sepak bola. Loyalitas tak selalu ditentukan oleh tempat lahir, tetapi oleh rasa memiliki. Di usia 15, ia menanggalkan potensi karier mulus di jalur Australia, untuk sebuah perjalanan penuh perjuangan bersama Garuda Muda.

Baker tidak hanya bertahan di lapangan, ia memimpin. Di fase grup Piala Asia U-17, Baker menjadi jenderal lini pertahanan. Gol semata wayang ke gawang Korea Selatan oleh Timnas Indonesia, bukan hanya catatan statistik. Hal itu adalah simbol kepercayaan diri dan visi masa depan sepak bola Indonesia, yang di dalamnya ada Baker.

Lalu kemenangan 4-1 atas Yaman, dan dominasi 2-0 atas Afghanistan, makin menegaskan bahwa keputusan Baker bukan sekadar romantisme darah. Ia memilih Indonesia bukan untuk nostalgia, tetapi untuk mencetak sejarah. Dan ia menulisnya di setiap umpan, tekel, dan selebrasi kemenangan.

Di era globalisasi, identitas tak bisa lagi dikotakkan kaku. Dalam sepak bola modern, talenta diaspora adalah kekuatan lunak (soft power) yang menjadi aset politik kebangsaan. Ketika Australia bersikeras memanggil Baker, PSSI justru sudah bekerja dalam diam, membangun relasi dan komunikasi yang menyentuh hati sang pemain dan keluarganya.

Pilihan Baker adalah bentuk diplomasi emosional. Ini adalah pelajaran bahwa identitas bisa dibangun melalui narasi, bukan hanya administratif kewarganegaraan. Ia adalah hasil dari kampanye tenang PSSI, yang mulai belajar bagaimana memikat hati, bukan hanya merekrut kaki.

Ketika Australia menawarkan kenyamanan, Mathew memilih perjuangan. Karena bagi dia, merah-putih bukan cuma warna, tapi panggilan jiwa.

Dan kini, Indonesia bukan sekadar lolos ke Piala Dunia U-17 sebagai finalis Asia. Lebih dari itu, kita menunjukkan kepada dunia bahwa kita bisa menjadi rumah bagi talenta-talenta diaspora. Bahwa Indonesia tak hanya tempat untuk dikenang, tetapi untuk diperjuangkan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline