Setiap tahun, terutama saat momen Lebaran atau perayaan besar lainnya, tradisi open house menjadi ajang bagi pejabat, tokoh masyarakat, dan bahkan warga biasa untuk membuka pintu rumah mereka bagi keluarga, tetangga, kerabat, hingga masyarakat luas.
Acara ini tidak hanya menjadi simbol keramahan dan kebersamaan, tetapi juga kesempatan untuk mempererat silaturahmi tanpa memandang status sosial. Dengan hidangan khas yang tersaji di meja, suasana penuh canda dan obrolan akrab, open house seharusnya menjadi momen yang tulus untuk berbagi kebahagiaan.
Namun, di tengah perkembangan zaman, tradisi ini mulai mengalami pergeseran makna. Bagi sebagian orang, open house bukan lagi sekadar ajang menjamu tamu, melainkan juga sarana memperlihatkan status sosial, mencari perhatian, atau bahkan menjadi lahan bagi praktik-praktik yang bersifat transaksional.
Dari ajang silaturahmi yang hangat, kini muncul istilah baru yang cukup menyentil: open amplop. Fenomena ini mengarah pada praktik di mana acara open house bukan lagi sekadar berbagi kebahagiaan, tetapi juga menjadi momen bagi tamu untuk memberikan amplop kepada tuan rumah baik sebagai bentuk apresiasi, hubungan timbal balik, atau bahkan dalam beberapa kasus, sebagai sarana untuk mencari keuntungan tertentu.
Apakah pergeseran ini hanya sekadar dinamika sosial yang wajar, atau justru tanda bahwa makna open house semakin terkikis oleh kepentingan lain?
Dari Tradisi Silaturahmi ke Simbol Status
Di banyak tempat, open house bukan lagi sekadar ajang bertemu dan berbagi kebahagiaan, tetapi juga menjadi ajang pamer kemewahan.
Rumah-rumah megah dengan dekorasi mewah, meja makan yang dipenuhi hidangan mahal, serta tamu-tamu penting yang diundang secara eksklusif menjadi pemandangan yang semakin lazim.
Acara yang seharusnya sederhana dan penuh kehangatan berubah menjadi perayaan yang sarat gengsi. Bagi sebagian orang, open house menjadi kesempatan untuk menunjukkan status sosial mereka. Semakin besar dan mewah acaranya, semakin tinggi kesan yang ditinggalkan.
Tidak jarang, penyelenggara bahkan menyewa katering mahal, dekorasi yang elegan, hingga hiburan dari artis terkenal demi menciptakan kesan yang eksklusif dan berkelas. Sayangnya, hal ini justru menjauhkan open house dari esensinya sebagai ajang silaturahmi yang egaliter dan inklusif.