Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Abyan Ataullah

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Brawijaya

Mengawal kasus-Kasus MBG: Program Unggulan atau Proyek "Citra"

Diperbarui: 6 Oktober 2025   15:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) merupakan program unggulan yang dicanangkan oleh pemerintahan Prabowo Subianto. Urgensi pembangunan sumber daya manusia unggul menjadi alasan utama mengapa program ini penting. Pemerintah menilai bahwa program MBG dapat mendukung pembangunan SDM unggul karena kualitas pangan dan gizi adalah kunci utama dari terwujudnya urgensi ini.

Secara konsep, MBG merupakan program bagus yang harus didukung oleh semua lapisan masyarakat. Mengingat bahwa program ini tidak hanya sekadar memberikan dan menjamin anak-anak dari keluarga yang kurang mampu, tetapi juga dapat menjadi penggerak ekonomi lokal dengan melibatkan petani, nelayan, dan pelaku UMKM sebagai pemasok bahan pangan. Anggaran yang disiapkan pun tidak main-main --- sekitar Rp71 triliun hingga akhir tahun 2025, dengan sasaran 19,47 juta penerima manfaat. Apabila dijalankan dengan benar dan tepat sasaran, program ini akan menjadi harapan besar bagi bangsa Indonesia di masa depan karena ini merupakan investasi jangka Panjang.

Namun, setelah satu tahun ide besar ini turun ke lapangan, banyak sekali catatan kritis dan evaluasi terhadap program ini karena timpangnya ekspetasi dengan realita, seolah menunjukkan bahwa pelaksanaan MBG di lapangan belum siap sepenuhnya.

Belum lama ini masyarakat Indonesia digemparkan dengan berita banyaknya siswa sekolah yang keracunan imbas dari program ini. Menurut laporan dari Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), tercatat sebanyak 1.833 siswa menjadi korban keracunan MBG sejak tanggal 29 September hingga 4 Oktober 2025. Belum lagi adanya laporan mengenai menu MBG yang tidak memenuhi standar gizi. Masih banyaknya vendor-vendor nakal yang tidak bertanggung jawab menjadi cerminan lemahnya sistem pengawasan pemerintah terhadap pelaksana di lapangan.

Mirisnya lagi, tim pelaksana teknis yang mempunyai tugas mengatur, memantau, dan mengkoordinasikan program MBG di lapangan justru melakukan tindakan yang tidak sesuai  dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) yang telah ditetapkan oleh Badan Gizi Nasional (BGN).  Dalam sebuah video yang beredar di tiktok, tiga pegawai terlihat menggunakan spons untuk mencuci nampan ompreng stainless di wadah berisi air sabun, lalu membilasnya ke bak air yang kondisinya kotor dan tidak steril. Peristiwa itu diketahui terjadi di dapur MBG yang berlokasi di Jalan Raya Tagog Munding, Desa Citatah, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat.

Peristiwa-Peristiwa memalukan seperti membuat banyak masyarakat beranggapan bahwa tidak adanya keseriusan pemerintah dalam menjalankan program ini dengan baik. Kejadian seperti siswa yang keracunan, menu MBG yang tidak memenuhi standar gizi, hingga alokasi pembagian MBG yang tidak tepat sasaran membuat orang-orang menganggap bahwa program ini hanyalah proyek "citra" untuk memperkuat kepercayaan publik di awal masa pemerintahan baru bahkan sejak masa kampanye.

Tujuan MBG sejatinya tidak bisa diperdebatkan. ia baik, strategis, dan penting. Tapi niat baik saja tidak cukup. Tanpa perencanaan matang, pengawasan yang kuat, dan keterlibatan masyarakat lokal, program ini bisa kehilangan esensi.

Anak-anak memang bisa kenyang, tetapi apakah mereka benar-benar bergizi dan sehat? Masyarakat lokal mungkin terlibat, tetapi apakah mereka benar-benar diberdayakan? Pertanyaan-pertanyaan semacam inilah yang seharusnya terus diajukan oleh publik dan mahasiswa.

Pemerintah perlu belajar bahwa kebijakan publik bukan hanya soal angka dan anggaran, tapi soal keberlanjutan dan kepercayaan. Makan Bergizi Gratis seharusnya tidak hanya menjadi slogan, tetapi benar-benar menjadi bukti bahwa negara hadir menyehatkan warganya  tanpa ada yang merasa ditinggalkan.

Program Makan Bergizi Gratis adalah langkah yang patut diapresiasi, tetapi juga harus dikritisi agar menjadi lebih baik. Kritik bukan berarti menolak, melainkan mengingatkan agar kebijakan publik tidak berhenti pada janji, tetapi benar-benar mewujudkan kesejahteraan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline