Lihat ke Halaman Asli

Muhamad Mustaqim

Peminat kajian sosial, politik, agama

Islam Nusantara yang Eklektik

Diperbarui: 20 Oktober 2018   22:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Banyak pihak yang kiranya 'gagal paham' dalam memahami maksud dan definisi Islam Nusantara. Yang terjadi, cacian, hujatan, sinis, nyinyir dan sikap tidak suka. Bahkan seorang ustadzah di sebuah stasiun TV dengan nada keras meminta "coret islam nusantara", meskipun sang ustadzah akhirnya harus meminta maaf secara terbuka di TV. Di media sosial lebih parah lagi. 

Beberapa akun tokoh agama menyindir tentang konsepsi Islam nusantara. "Islam itu satu, tidak perlu ditambah-tambah", tulisnya. Jika kita lebih detail melihat maksud dari konsep islam nusantara, beserta konteks yang melatar belakanginya, maka ada semacam kesalah-pahaman dalam melihat Islam nusantara ini.

Itulah mengapa Ketua PBNU, Kiai Said senantiasa menegaskan bahwa Islam Nusantara bukanlah mazhab atau aliran, namun merupakan tipologi, mumayyizat, yang berdiri atas prinsip islam santun, ramah, toleran, berakhlak dan berperadaban. Sampai sini sebenarnya sudah sangat jelas bahwa Islam nusantara bukanlah aliran baru, apalagi tandingan terhadap Islam yang selama ini ada. 

Namun, islam nusantara merupakan paradigma dalam berislam. Islam nusantara adalah metode (manhaj) dalam memahami dan mengamalkan islam secara kontekstual, dengan mendialogkan antara nilai universalitas islam dan kearifan lokal di mana ummat islam berpijak. 

Sebagai paradigma, maka Islam nusantara senantiasa menjunjung tinggi nilai universalitas islam itu sendiri, seperti kesantunan, toleransi, keadilan, dan rahmah bagi semesta. Nilai universalitas ini tetap menjadi payung dalam meramu berbagai kearifan lokal yang menjadi tradisi sebuah masyarakat muslim.

Paradigma itu semacam cara pandang, kaca mata yang akan kita gunakan untuk memindai sebuah obyek atau realitas. Agama dalam hal ini adalah realitas, baik realitas transenden maupun empiris, realitas sakral maupun profan yang membutuhkan metode untuk dapat memahaminya. 

Lebih sederhananya, agama islam yang sudah terlembagakan lebih dari empat belas abad ini memerlukan cara pandang yang relevan dengan tujuan diturunkannya Islam itu sendiri. Berarti akan banyak paradigma dalam memahami Islam? Benar. 

Faktanya, sampai detik ini terdapat ribuan paradigma dalam memahami Islam, yang paradigma ini termanifestasikan melalui corak aliran keagamaan. Berbicara tentang corak keberagamaan, setiap komunitas memiliki ragam dan corak keberagamaan yang berbeda secara empiris.

Memahami Islam, meniscayakan dua domain, agama dan keberagamaan. Pada ranah agama, itu sifatnya sakral, universal dan tidak meruang waktu. Inilah ranah agama yang ideal. Sementara wilayah keberagamaan itu ijtihadi, cara memahami agama dengan berbagai faktor dan setting yang melatarbelakanginya. Islam Nusantara dalam hal ini adalah ranah keberagamaan. 

Cara orang Indonesia memahami dan mengamalkan ajaran agama Islam, sesuai dengan ruang waktu dan konteks budaya masyarakat, selagi tidak bertentangan dengan prinsip dan nilai universalitas Islam. Jika ada yang mengatakan bahwa Islam itu satu, islam itu kaffah, maka terminologi tersebut masuk pada ranah dimensi agama. 

Di sinilah relevansi Islam Nusantara sebagai paradigma beragama, cara berislam muslim nusantara yang mengutamakan dakwah budaya, mengusung nilai toleran, model beragama dengan damai serta rahmah bagi semesta alam. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline