Lihat ke Halaman Asli

Pakde Amin

Perjalanan Dalam Mencari Harmonisasi Kehidupan Diri

Bingung Penyakit Kronis Diri Kita?

Diperbarui: 25 Oktober 2021   21:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kata bingung merupakan merupakan hal yang sering kita dengar bahkan sering dialami diri manusia.  Bingung bisa diartikan bahwa sikap diri kita menghadapi masalah besar atau kecil namun diri tak mampu menemukan jalan untuk memecahkannya.  Sehingga dapat diartikan bahwa sebetulnya antara masalah besar atau kecil bukan ukurannya namun yang menjadi ukuran adalah bagaimana diri menghadapinya.

Sebagian besar dari diri kita mungkin bingung mengapa "bingung" dianggap penyakit kronis. Tapi realita dalam kehidupan diri kita pernah mengalami hal ini dan menjadi sesuatu yang mengguncang kehidupan.  Bahkan tidak sedikit dari diri kita karena kebingungan sampai mencari jalan pintas, menyerah atau hingga lari dari prinsip hidup diri yang harus selalu dipertahankan.

Mengapa dianggap bagian dari penyakit? karena ketika diri menghadapi kebingungan akan mencari "obat" untuk menghilangkan rasa tersebut entah dengan cara apapun dilakukan.  Dan ketika obat itu ditemukan maka kebingungan itu akan hilang dan menjadikan hidup ini kembali bersemangat.  Namun manakala tidak menemukan obat untuk menghilangkan rasa bingung itu ibarat kehidupan kita menghadapi tembok penghalang besar di depan kita dan tinggal memilih mau mundur, maju dan membenturkan diri ke tembok atau berhenti langkah hidup kita.

Mengenal Bingung dan Obatnya

Ketika diri kita mengenal makna bingung yang kita alami akan memahami apa yang seharusnya dilakukan.  Namun ketika diri tak mampu memahami mengapa penyakit ini bisa menyerang kita maka sulit untuk menemukan obatnya. 

Banyak makna arti (sesuai dengan KBBI) bahwa bingung diartikan menjadi lima hal yaitu: Pertama, hilang akal (tidak tahu apa yang harus dilakukan). Kebingungan yang demikian akibat diri tidak memiliki pengetahuan tentang pengendalian diri dalam kehidupan. Ketidaktahuan diri tentang pengendalian diri karena diri "lupa" tidak pernah mau belajar untuk mengenal diri sebagai manusia sehingga dampaknya hidup hanya didasarkan atas naluri untuk bertahan hidup saja.

Hidup yang hanya didasarkan atas naluri maka hidup manusia ibarat hidup seperti makhluk lain yang ingin eksistensi dalam hidupnya. Dampaknya adalah bagaimana dirinya bisa tetap hidup dan tak penting aturan yang ada di masyarakat maka hidupnya seperti hidup di hutan. Sifat lupa yang menjadikan diri tidak mau belajar untuk mengenal jati diri inilah menjadikan diri seperti hewan buas yang siap menerkam siapa saja ketika dihadapkan dengan masalah.

Sebuah kerugian jika diri kita hidup dengan sifat lupa belajar ini.  Obat dari sifat bingung kategori ini adalah diri harus kembali memahami hidup manusia sebagai makhluk yang sempurna.  Sebagai makhluk yang baik dan menjadikan diri "pemimpin bagi seluruh manusia dan alam semesta" harus menjadi orientasi kebermanfaatan diri. 

Diri bisa memahami ini jika mau baca dan belajar kembali pada Buku Pedoman yang selama ini hanya menjadi pajangan dilemari atau hanya di bawa kesana kemari untuk identitas diri saja.  Padahal diri tidak pernah memiliki keingingan untuk mau mempelajari isinya secara benar.  Karena dengan membaca dan belajar itu maka akal akan kita temukan yang merupakan konektivitas diri dengan Sang Pencipta.  Maka hilang akal tidaklah mungkin terjadi pada diri yang senantiasa mau baca dan belajar Buku Pedoman tersebut.   

Kedua, Tidak tahu arah.  Kebingungan yang demikian akibat diri tidak memiliki pemahaman tentang tujuan hidup diri di dunia ini.  Mungkin dapat dikatakan bahwa hidup kita hanya sekedar hidup saja seperti buih diatas arus laut.  Ketidak tahuan diri tentang peta hidup ini diakibatkan diri "tidak tahu" dan menjadikan keliru tentang pemahaman atau pengetahuan dan jati diri sebagai manusia. 

Sehingga kehidupannya selalu didominasi oleh perasaan yang muncul dari "nurani" diri yang dangkal.  Perasaan was-was dan kuatir tentang hidupnya memenjara diri baik secara fisik maupun non fisik.  Hidup diri kita yang dalam kondisi ini sangat menggantungkan diri pada orang lain yang dirasa mampu menjaga dan membuat diri jauh dari kepedihan dalam kehidupan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline