Lihat ke Halaman Asli

Tari Abdullah

Freelancer

Kembang Kertas

Diperbarui: 20 Maret 2021   17:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi/Kembang/photo:doc.pri

 Lembayung telah sempurna merengkuh bumi, seakan ikut merasakan resah yang betah bersemayam di hati Zie."Aku kuat, aku harus kuat." Zie terus merapal kalimat dalam hati. Sungging senyum tak lesap dari bibirnya. Sesekali matanya mengerjap manja. Tak sedikit pun tersirat pada bening retinanya, ada telaga yang siap tumpah dalam sekedip mata.'Aku Zinnia. Kata ibuku artinya 'Kembang Kertas'. Bunga cantik yang mampu bertahan untuk tetap cantik. Juga bertahan untuk tetap hidup hingga tumbuh Zinnia-Zinnia baru yang melanjutkan keberadaannya,' batinnya bermonolog menguatkan diri.

Entah dedoa seperti apa yang dirapal Zie dari barisan bangku di ruang tunggu. Sikapnya tenang seolah semua baik-baik saja. Namun, dari bening matanya ada gundah yang mencoba ia sembunyikan. Resah menunggu sosok berseragam biru muda keluar dari ujung selasar yang steril dari lalu lalang orang tak berkepentingan.

Mata tajam Zie menangkap sosok mungil yang menggapai seolah mengajaknya bercanda.

"Halo, main sama mama saja ya, Nak. Tante belum cuci tangan," ujar Zie tersenyum pada bayi yang terus saja meracau dengan celoteh lucunya. Pandemi membuatnya menjaga jarak sejauh mungkin dari orang lain.

"Namanya siapa, Cantik? Oya, tante punya boneka lucu,"  Zie menghibur sang bayi setelah mendapat izin tersirat dari mama sang balita. Tangannya mengorek dasar tas mencari boneka yang ia janjikan.

"Tabarakallah," pekiknya takjub saat bayi berusia dua tahun itu terkekeh setelah menerima boneka ikan paus.

Mata Zie memburam. Hatinya berdesir perih,  Pemilik boneka yang terbuat dari flanel biru itu, adalah alasannya untuk bertahan dalam kepura-puraan. Buru buru Zie mengarahkan pandangan ke langit-langit ruangan. Mencari titik manapun yang bisa menahan tanggul air matanya.l

Hampir seratus dua puluh menit ia berada di sini. Di antara orang-orang yang juga menunggu dalam gundah yang membuncah.   Hatinya kian resah, sosok berseragam tak juga menampakkan diri.

Perempuan bergamis coklat itu mengembuskan napas berat, setengah berbisik beristighfar. Menyerahkan segala kemungkinan  pada Pemiliknya.

Zie beringsut dari bangku ruang tunggu. Menyeret kakinya ke pojok pengisian batere. Ponselnya gelap sedari tadi, cemas jika dari ujung telepon lain ada yang berusaha menghubunginya. Matanya masih menyisir setiap ruangan berpintu akrilik tebal. Mengharap dari balik pintu bercat putih itu muncul sang buah hatinya.

"Kak, tolong teh manis hangat satu," pinta Zie pada penjaga kantin di pojok.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline