Lihat ke Halaman Asli

Agama, Politik, dan Massa

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Oleh: Mudhofir Abdullah

Menjelang Pilpres 9 Juli 2014, suhu politik makin memanas. Partai-partai politik kini telah memutuskan pilihan koalisi. Golkar, Gerindra, PAN, PPP, PKS, dan PBB mengusung Prabowo-Hatta. Sementara PDI-P, PKB, Nasdem, dan Hanura mendukung Jokowi-JK. Para pengamat menyatakan bahwa kompetisi Pilpres makin ketat dan seru. Massa kini terbelah menjadi dua. Pendukung Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK. Keterbelahan ini sangat dinamis dan menunjukkan bahwa ranah politik tetap menjadi area menarik dan bahkan memanaskan suhu politik nasional.

Dapatkah dinamika politik nasional ini akan tetap aman hingga usainya Pilpres 2014? Kita semua berharap bahwa Pilpres akan berjalan aman, tertib, dan menghasilkan Capres-Cawapres yang ideal sesuai kehendak rakyat. Namun, sejarah menunjukkan bahwa setiap peralihan kekuasaan seringkali ‘berdarah-darah’ dan nyaris menyulut konflik horizontal. Kelaziman sejarah ini harus dihentikan. Massa telah belajar dari sejarah dan semoga ini bias dipegang dalam peralihan kekuasaan ini.

Massa politik terdiri dari berbagai aliran agama, suku, dan daerah. Keragaman massa ada di dua kubu baik Prabowo-Hatta maupun Jokowi-JK. Artinya, Pilpres adalah murni pertaruhan kepentingan bangsa dan bukan kepentingan golongan. Prinsip ini harus dikembangkan oleh para akademisi dan para elit politik. Jangan ubah prinsip ini ke perbedaan antar suku, agama, dan golongan. Ini bisa menjadi pemicu konflik antar massa pendukung.

Persoalannya, apakah harapan ini bisa dan menjadi prinsip kita bersama? Dalam politik selalu saja ada oportunis-oportunis yang mengusung kepentingan diri dan golongan. Mereka bisa memainkan apa saja yang penting tujuannya tercapai. Politik bagi mereka adalah media yang tepat untuk ditunggangi demi mencapai tujuannya. Pandangan inilah yang akan merusak nilai-nilai luhur politik. Saya kira, tidak semua massa mudah digiring ke dalam konflik antar kepentingan. Tetapi, dalam kerumunan massa akan dengan mudah hasutan membuat kerusuhan massal. Inilah yang tidak diinginkan.

Apalagi dalam peta koalisi ada banyak sudut massa memandang. Satu sudut melihat bahwa pertarungan Prabowo-Hatta vs Jokowi-JK adalah pertarungan antara Muhamadiyah dan NU. Ada juga yang memandang sebagai pertarungan nasionalis dan relijius. Yang lain lagi memandang kompetisi antara santri dan abangan. Sudut-sudut pandang itu, tentu saja, sulit untuk dibendung. Demokrasi membolehkan semua pendapat dikemukakan secara bebas. Demokrasi bahkan mengharuskan agar semua pemimpin dikuliti asal-usulnya untuk membuka rekam jejaknya di masa lalu secara obyektif. Juga kepentingan-kepentingan yang menungganggi pasangan tertentu. Saya sendiri sangat takut kalau demokrasi juga mengembangkan konflik antar agama, suku, dan golongan. Saya kira sulit membendung ekses-ekses demokrasi.

Nah, dalam konteks Pilpres 2014 ini, para pemimpin harus memilih topic-topik yang lebih berkelas dan mencerdaskan pandangan dunia bangsa atau massa. Peran profetik mereka sangat menentukan arah politik yang lebih santun, berkelas, dan mengandung nilai-nilai pendidikan politik. Jangan lupa bahwa massa agama adalah massa yang sangat sensitive. Massa ini mudah tersulut. Sebagai Negara demokrasi, para pemimpin Indonesia harus sadar bahwa mereka butuh jaminan masa depan yang lebih baik. Tentu saja, semua warga Negara meminta jaminan bahwa peralihan kekuasaan ini tidak akan mengancan faksi mana pun. Peralihan kekuasaan adalah masa-masa genting bila penguasa yang baru berkiblat pada kelompok atau kepentingan capital tertentu. Inilah hal-hal yang diperhatikan dalam pecan-pekan menjelang kampanye dan Pilres 9 Juli 2014.

IAIN Surakarta, 21 Mei 2014




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline