Lihat ke Halaman Asli

M. Ridwan Umar

Belajar Merenung

Kebangkrutan Thomas Cook, Korban Berikut Disrupsi Digital

Diperbarui: 3 Oktober 2019   19:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

preferente.com

Jagad bisnis heboh. Perusahaan travel Inggeris, Thomas Cook, bangkrut. Tepatnya hari Minggu lalu.

Salah satu perusahaan travel tertua di dunia ini gulung tikar dengan meninggalkan lebih dari 150 ribu konsumen yang terluntang-lantung di berbagai negara, menunggu kepastian, kapan pulang dan bagaimana pembayaran hotel mereka dilakukan. Termasuk wisatawan mereka, di Bali. Menyedihkan.

Thomas Cook memiliki  22 ribu karyawan, bekerjasama dengan 100 penerbangan dunia, 200 pemilik hotel dan resor di 47 destinasi, dan 19 juta pelanggan. Pokoknya besar sekali. Sampai-sampai, saya pernah membaca berita dimana Menteri Pariwisata Indonesia, sangat menaruh pada Thomas Cook untuk mempromosikan Indonesia di Eropa.

Berita kebangkrutan ini tentu tidak mengejutkan terutama jika dikaitkan bagaimana hebatnya bisnis digital menghantam berbagai bisnis konvensional. Sebelumnya kita akrab dengan berita transportasi dan perhotelan offline dipaksa gulung tikar dengan kehadiran bisnis model Gojek, Grab, atau AirBnB.

Atau, perusahaan retail dan mall yang kehilangan konsumen "dikerjai" marketplace ala Alibaba, Lazada, Bukapalak, atau Tokopedia.

Thomas Cook kolaps, itu sesuatu banget. Kali ini mereka kena "kutukan era disrupsi", entah perusahaan apalagi lagi esok.

Sesungguhnya Thomas Cook bukanlah pemain baru di bidang travel. Mereka telah berumur 179 tahun. Bayangkan, sejak tahun 1840 lalu, mereka menguasai seluruh jaring bisnis travel dunia. Menguasai hotel, maskapai dan resort wisata dunia.

Mereka menggaungkan sebagai travel yang mampu menghubungkan semua lini teravel, dari mulai tiket, pesawat, hotel sampai destinasi terkenal. Mereka bukan bisnis kaleng-kaleng. Buktinya, mampu bertahan hampir 200 tahun!

Namun, siapa sangka. Thomas Cook tetap bangkrut juga. Memang, penyebab kebangkrutan didasarkan banyak faktor.

Ada pengamat mengatakan bahwa Thomas melakukan inefisiensi dalam bisnis. Misal, dengan membuat bisnis penerbangan sendiri. Kata mereka, pilihan membuat maskapai sangat berisiko karena mahal dan karakter bisnisnya "njelimet".

Seharusnya Thomas Cook fokus di bisnis travel saja. Model bisnis yang lama itu sudah menguntungkan, jangan coba-coba yang lain. Lihat saja berbagai maskapai yang bangkrut di dunia, termasuk di Indonesia.  

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline