Ada masa di mana dunia terasa sederhana --- cukup dengan tawa teman-teman sekelas, angin sore yang membawa aroma kapur tulis, dan degup jantung yang tiba-tiba tak beraturan hanya karena satu senyum dari gadis di bangku sebelah jendela.Itulah masa SMA bagi Mohamad Endy Julianto.Masa di mana rasa suka tak pernah terucap, karena keberanian selalu kalah oleh ketakutan --- bukan takut ditolak, tapi... takut besok ada ulangan matematika.
Hari-hari di SMA Negeri Kendal terasa seperti film hitam putih yang kini mulai pudar di pinggir kenangan.
Waktu itu, hidup terasa sempit tapi bahagia.
Jajan di kantin cuma cukup buat teh manis dan gorengan satu biji, tapi tawa bisa pecah seolah dunia milik sendiri.
Bareng teman-teman runtang-runtung ke mana aja --- entah nongkrong di taman kota, nyari angin di alun-alun, atau sekadar duduk di tepi jalan membahas masa depan yang belum tahu arahnya.
Semua sama: jomblo, kere, tapi bahagia.
Ada satu gadis yang dulu diam-diam mengisi hatinya.
Namanya masih diingat, tapi tak pernah disebut.
Dia cuma berani memandang dari jauh, menyembunyikan rasa di balik tugas fisika, atau pura-pura sibuk nulis rumus biar nggak kelihatan gugup.
Waktu itu, cinta terasa seperti soal cerita matematika --- penuh simbol, sulit dimengerti, tapi entah kenapa tetap menarik untuk dipelajari, meski hasil akhirnya selalu salah.
Tahun demi tahun berlalu, teman-teman satu geng kini sudah punya jalannya masing-masing.
Ada yang kerja di luar kota, ada yang sibuk dengan keluarga, dan ada pula yang masih mencari arah.
Tapi tak ada yang menyangka, si cowok pendiam yang dulu takut nembak gebetan dan selalu deg-degan tiap ulangan matematika, kini justru menjadi Dosen di Program Studi Teknologi Rekayasa Kimia Industri (TRKI), Sekolah Vokasi Universitas Diponegoro.
Mohamad Endy Julianto saat SMA/dokpri
Takdir ternyata punya selera humor yang lembut.
Ia menggiring langkah-langkah kecil di masa lalu --- yang dulu penuh canggung dan kegagapan --- menjadi pijakan kuat di masa kini.
Dari remaja yang takut hitung-hitungan, kini ia justru mengajarkan logika, rumus, dan sistem industri kepada ratusan mahasiswa.
Dari yang dulu tak berani menyapa cinta, kini ia menyapa ilmu dengan penuh keyakinan.
Mungkin, begitulah cara Tuhan menulis cerita:
Kadang kita harus melewati bab-bab yang lucu, getir, dan absurd, sebelum sampai di halaman penuh makna.
Dan di antara tumpukan kenangan masa SMA, masih terselip senyum kecil --- bukan karena menyesal, tapi karena kini bisa berkata dalam hati:
"Ternyata, semua rasa malu, takut, dan canggung itu dulu bukan sia-sia.
Dari sanalah aku belajar menjadi manusia."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI