Lihat ke Halaman Asli

Mohamad Aby Gael

Mahasiswa S1 Antropologi, Universitas Airlangga

Tangis Si Anak di Pekarangan Rumah

Diperbarui: 28 Desember 2020   03:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Di kala fajar menyingsing,
seorang anak dengan mimpi
superheronya, diusik bisikan
lembut ibu, memintanya bangun.
Dimandikan di bawah dinginnya air embun
dengan bujuk rayu anakku yang pintar.

Sedang bapaknya baru pulang
lembur, mata kantuk, bicara ngelantur
membawakan oleh-oleh
adalah selembar kertas biru,
lalu pergi tidur.

Si anak menghabiskan paginya
dengan lomba lari bersama
ayam pejantan. Ditangkapnya
si bapak ayam, dan anak ayam
menangisi potret itu.

"Petok, petok, petok!" Suara bapak ayam
menenangkan anak ayam,
seakan berkata "aku akan menjagamu
anakku, jangan kau risau."

Bapak ayam mematok si anak manusia,
pagi hari jadi bencana. Di kebun
ibu mencabut bawang
untuk penyedap rasa hidangan. Dan di kamar
ayah mulai mengetuk pintu mimpi
tentang biduan dambatan.

Air mata si anak berjatuhan ke tanah
menumbukan benih rumput liar yang tertanam.
Cukup pekarangan rumah
yang meredam deras air matanya.

Tetapi tangis si anak
kian menjadi-jadi, dan pepohonan
memekarkan bunga.
Mencoba menghibur
mengharap si anak melirik.

Mata si anak terlanjur basah
terkaburkan pandangannya.
Disusul angin menyapanya
walau berujung sia-sia.

"Sedih bisa datang kapan saja, nak"
Batin bapak ayam yang sempat ditangkapnya
menengok ke arah si anak. Yang perlahan pergi
berbaris dengan keluarganya.

Anak manusia itu kelak akan tumbuh perkasa
walau tak didapatinya cinta.
Tak sama dengan cinta yang ditanamkan
bapak ayam kepada anak ayam,
di sepenggal waktu lalu, menghiasi pagi si anak manusia. 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline