Lihat ke Halaman Asli

Muhibuddin Aifa

Wiraswasta

Nestapa Kelas Online bagi Keluarga Marginal

Diperbarui: 1 Agustus 2020   14:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pak Saifullah Mendatangi Rumah anak didiknya secara bergiliran karena mereka tidak mempunyai smart phone. (Sumber Foto : Saifullah)

"Salah seorang Bapak-bapak yang tidak mau disebutkan namanya, ia mengatakan setiap berlangsung kelas online harus mengeluarkan menimal lima puluh ribu rupiah untuk pembelian koata internet, bayangkan ia mempunya dua anak yang saat ini masih bersekolah"

Tidak semua orang terlahir dari keluarga yang beruntung. Jika bisa memilih, sudah pasti semua menginginkan terlahir dikalangan keluarga mapan. Itulah lika-liku kehidupan yang sudah menjadi ketentuan Allah, SWT.

Menjadi bagian dari keluarga marginal dituntut untuk ulet dalam mengikuti proses belajar mengajar ditengah masa pandemi, karena keterbatasan media untuk beradaptasi dengan belajar secara online. Berbeda halnya dengan mereka yang mapan, yang mempunyai kemudahan dalam memperoleh segala sesuatu terkait belajar online.

Sebagaimana yang telah kita rasakan, pandemi Covid-19 telah mengubah cara belajar bagi dunia pendidikan. Semula dilakukan dengan cara tatap muka langsung, kini secara online (daring)

Ketakutan akan terpapar virus mematikan itu semakin membuat orang tua murid dituntut untuk mengeluarkan ekstra tenaga, pikiran dan uang. Bahkan, harus siap untuk memantau, menjadi fasilitor, dan sekaligus berperan sebagai 'guru' bagi anak-anaknya.

Yang lebih 'menjengkelkan' lagi, barangkali bagi kaum ibu. Mereka acap kali dibuat kelabakan. Selain kerepotan dengan urusan rumah tangga, kini bertambah lagi tugas mereka menjadi pembimbing materi belajar bagi anak-anaknya.

Sederet persoalan lainpun muncul dalam pelaksanaan metode belajar online. Mulai dari peningkatan penggunaan koata internet, susahnyasinyal Hp, dan bahkan ada murid yang tidakmemiliki HP. Sedihnya lagi, ada yang mengalami frustasi, akibat tidak memiliki media pendukung, sehingga mengakibatkan hilangnya nyawa.

Sebagai pekerja di salah satu Rumah Sakit di Aceh, sudah pasti saya sering mendengarkan berbagai keluhan yang diutarakan dari teman-teman sejawat disana mengenai kelas online. 

Salah seorang Bapak-bapak yang tidak mau disebutkan namanya, ia mengatakan setiap berlangsung kelas online harus mengeluarkan menimal lima puluh ribu rupiah untuk pembelian koata internet, bayangkan ia mempunya dua anak yang saat ini masih bersekolah.

Tak jauh beda dengan persoalan Bapak-bapak tadi, seorang Ibu yang juga teman sejawat saya, dia ikut mengeluh karena harus berbagi HP dengan anaknya. 

Padahal ditempat bekerja samart phone juga menjadi kebutuhan baginya sebagai media informasi di group whatsapp terkait urusan pekerjaannya. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline