Langkah-langkah Jokowi dalam membawa negara ini menuju ke arah yang lebih baik sudah pas. Menuju negara maju tentu butuh infrastruktur. Tanpa infrastruktur yang bagus kita akan selalu kalah dalam bersaing. Apalagi, kita termasuk negara terluas. Maka, jalan infrastruktur Jokowi adalah jalan demi masa depan. Walaupun pada dasarnya Jokowi bisa menikmati apa yang ada, tetapi Jokowi lebih berhasrat untuk menggunakan potensi yang ada untuk mempersiapkan jalan menuju Indonesia lebih baik.
Konsistensi Jokowi dalam menghadapi radikalisme juga patut di acungi jempol. Pembubaran HTI adalah sebuah keberanian sendiri di saat begitu banyak pemimpin hanya memanfaatkan HTI untuk kepentingan politik, atau paling tidak hanya main aman. Resiko pembubaran HTI bukanlah kecil. Kaum radikal ini menggunakan Islam sebagai tameng.
Teriak-teriak ke sana ke mari dengan hasutan-hasutan tentang teraniayanya umat Islam di era Jokowi. Ketegaran Jokowi perlu diapresiasi. Karena HTI sudah menyusup ke banyak lembaga. Dan mereka lebih banyak menggarap generasi muda di perguruan tinggi negeri. Mereka yang tak mengerti agama kemudian dicekoki dengan konsep agama yang salah oleh mereka. Karena HTI memang bukan sedang memperjuangkan agama, mereka sedang memperjuangkan politik kelompoknya. Hanya saja, banyak orang tertipu.
Ketika pendidikan tak pernah usai dirundung masalah, Jokowi berani bersikap tidak biasa. Menteri pendidikan yang masih muda, penuh ide menyongsong era digital, diangkatnya. Meskipun resistensi begitu tinggi. Keberanian Jokowi ini bukan tanpa tantangan. Tantangannya cukup besar. Seorang Nadiem harus mengubah gerak gerbong pendidikan. Hampir dikatakan seorang diri. Mungkinkah bisa? Jika tidak dibarengi dengan ketegaran hati, maka tak mungkin Jokowi berani.
Tantangan dari NU karena tak diberi jatah menteri agama juga merupakan ketegasan Jokowi dalam menatap masa depan negeri ini. Seperti tadi dikatakan di depan, Jokowi memang benar-benar sedang berperang dengan para petualang politik yang berkedok agama. Radikalis yang bersembunyi dalam ayat-ayat suci. Melalui kementerian keagamaan inilah Jokowi menentukan jalan radikalis tersebut.
Semua itu jelas sebuah prestasi yang perlu diapresiasi.
Tapi, Jokowi juga masih setengah hati. Tekanan politik dari para partai pendukungnya jelas sangat membelenggu dan menjengkelkan. Partai pendukung justru menjadi beban. Sekarang mereka managih hutang. Padahal, alngkah indahnya jika Jokowi abaikan dan tetap berdiri bersama rakyat. Biar kami, rakyat negeri ini yang menghadapi para begundal politik tersebut. Tidak semua, tapi terlalu banyak untuk sekadar di hitung. Apalagi dalam kondisi oligarki partai, maka pendukung betul-betul telah menjelma menjadi pengungkung.
Dalam persoalan revisi UU KPK, misalnya, ternyata Jokowi masih setengah hati. Tidak berani melawan partai-partai pendukung yang sudah mengikat kakinya. Padahal, sekali lagi, rakyat bersama Jokowi. Kenapa Jokowi bersama partai-partai dengan nafsu mereka itu?
Kemenag juga menjadi contoh Jokowi setengah hati. Penempatan wakil menteri justru mengganggu. Tak perlu seorang wakil menteri agama. Selama ini juga tanpa wakil menteri, perjalanan kementerian keagamaan justru lebih baik dibanding waktu memiliki wakil menetri. Desakan kelompok masih belum membuat ketegaran Jokowi tetap tegar.
Masih menunggu Jokowi untuk sepenuh hati membawa negeri ini menju masa depan yang lebih baik. Pasti bisa!