Lihat ke Halaman Asli

M Iqbal M

Art Consciousness, Writter, and Design Illustrator.

Kaum Pekerja yang Kurang Berefleksi dan Privilege Ekonomi.

Diperbarui: 25 Juli 2021   19:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Oleh: M.Iqbal.M


Kapitalisme-lanjut/maju membuat manusia teralienasi tidak hanya dari segi ekonomi, melainkan juga dari segi psikologi-sosial-kultural.

Karenanya, siapapun yang sok mempersoalkan privilege ekonomi akan terkesan konyol jika tidak mengikutinya atau mengaitkannya dengan persoalan privilege psikologis.

Dapat kita identifikasi bahwa orang-orang yang semacam itu ialah orang yang kurang berefleksi, mereka sekedar tau soal kepuasan diri (terkadang sedikit tau soal aktivisme kemanusiaan) dengan semboyan kerja, kerja, kerja, hingga apa yang ada di dalam otak dan kejiwaan mereka hanyalah berupa representasi dari commodity fetishism dan simulacrum yang diciptakan oleh faktor eksternal dilingkungan sekitar yang mereka hidupi secara dekaden.

Apakah orang-orang/para pekerja yang kurang berefleksi (dan seringkali gemar/candu terhadap berkerumun) tersebut dapat menimbulkan gelombang revolusi komunal humanis dengan merangkap menjadi kerumunan aktivis kemanusiaan ?, entahlah, revolusi diri saja belum bisa, apalagi revolusi sosial ?, yang ada nantinya justru transformasi sosial menuju kepada kehancuran yang lebih buruk daripada sebelumnya.

Jika membuat "revolusi" (action for revolution) saja tak bisa, maka sudah bisa dipastikan bahwa mereka tidaklah sanggup untuk membuat sebuah pemberontakan metafisis (rebellion act for freedom metapsychics) yang diperlukan personal manusia secara organik. Itu artinya, upaya mereka adalah upaya yang sia-sia, lantaran sejak awal mereka sudah gagal ditataran psikis dan pola pikir (fisio-psikologis) tentang perubahan sosialisme, ataupun pemberontakan sosialisme-libertarian.

Tentu saja, uraian ini menyatakan bahwa fetisisme komoditas dan simulakra yang tidak kasat mata tidaklah hanya menginfeksi para highclass, melainkan jugalah dapat menyerang para pekerja, buruh, kaum underclass atau proletar. Serta menyatakan bahwa revolusi sosial tidak dapat terjadi jika masih ada individu yang tidak merevolusi diri sendiri dengan berefleksi, pun masih terburu-buru sekaligus secara serampangan mendiskreditkan orang lain dengan menggunakan dogma-dogma perlawanan yang tidak relevan dan kontekstual.

Meskipun demikian, tujuan utama dari uraian ini ialah untuk memantik kesadaran setiap individu agar tidak gegabah dalam membangga-banggakan diri sebagai seorang pekerja yang sengsara atau aktivis yang progresif. Supaya, mau mengoreksi diri sendiri dengan cara membiasakan diri untuk berefleksi sebelum terburu mencerca atau menghitam-putihkan kehidupan personal sekaligus privilege ekonomi-psikologis orang lain yang berbeda-beda secara dinamika mikro, makro dan metakosmis. Berefleksi, repetisi, dan reevaluasi adalah hal penting bagi manusia yang ingin menjadi manusia yang seutuhnya.

Jadi, hendaknya kita dapat melihat persoalan privilege secara jernih, luas, dan bijaksana, dengan menjadi pribadi yang senantiasa berefleksi tanpa termakan oleh kehendak kuasa (will to power) yang dihendaki secara naif, serupa balita tapi berlagak perkasa dengan mempertunjukan kesengsaraan dan keperkasaannya demi mendapatkan permen lolipop berukuran sangat besar yang teramat nikmat.

Maka, kalau kata Nietzsche: berhati-hatilah dengan setiap langkah dan lintasanmu, dan tidak lupa dengan pameo klasik yang masih relevan berikut ini; "Kebebasan tanpa sosialisme adalah barbarisme, sosialisme tanpa kebebasan adalah penindasan dan penjajahan".

Sebagai penutup, saya akan memberikan penggalan kalimat dari sebuah buku, yang sudah saya terjemahkan secara bebas dibawah ini:

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline