Lihat ke Halaman Asli

Khasbi

Penulis Cerita Kehidupan

Literasi Puisi sebagai Penguat Religiusitas

Diperbarui: 23 Juli 2019   11:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Oleh: Muhammad Khasbi M.

Kekerasan, sikap sparatis-ekslusif dan sikap primordialistik, muncul ke permukaan seperti pohon yang kian hari makin menjulang tinggi di angkasa. 

Pohon itu memang tumbuh tinggi, namun kurang memberi manfaat kepada lingkungan sekitar. Justru menjadi benalu bagi pohon-pohon lain, yang hendak tumbuh menjulang ke langit menuju cahaya matahari. 

Abstraksi semacam itu sama dengan apa yang dimaksudkan oleh M. Amin Abdullah, yaitu pemikiran keagamaan yang bercorak spekulatif (red. perdebatan soal dosa kecil-dosa besar, perdebatan mukmin-kafir dst.) sangat riskan terjerumus kepada perilaku sosial ta'fiyyah---madzhabiyyah---hizbiyyah (sektarian-parochialistik-primordialistik). 

Manifestasinya dalam kehidupan sosial ialah mudah melontarkan tuduhan kafir (takfir), murtad, munafiq, bid'ah terhadap orang, golongan atau kelompok lain yang tidak semadzhab, sepaham, segolongan, sekelompok dan apalagi yang berbeda agama.

Pengayatan agama yang berkurang urgenitasnya ternyata menjadikan perilaku kekerasan muncul dipermukaan. Sebab pendekatan yang dilakukan hanya menggunakan teks-formal-simbolistik saja. 

Penghayatan agama yang hilang dari seorang muslim misalnya, bisa menyebabkan rasa religiusitasnya juga berkurang---bahkan hilang. 

Keadaan seperti inilah yang sering disebut sebagai 'kegersangan hati'. Oleh sebab itu, untuk mengembalikan dan menyuburkan kegersangan hati, butuh yang namanya 'siraman rohani'.

Namun perlu dipahami, 'siraman rohani' tidak musti harus dengan cara mendengarkan ceramah, melakukan kajian-kajian keagamaan. Melainkan melalui pendekatan lain, yaitu dengan cara membuat, menyusun dan menggubah sebuah puisi. Inilah yang disebut Paul Tillic sebagai pendekatan religiusitas agamis dan nonagamis. 

Dalam hal ini Gus Dur juga sepakat, bahwa penghayatan keagamaan (red. keimanan) tidak musti didapatkan dengan mendengarkan khotbah agamawan atau diskusi pemikiran keagamaan. 

Melainkan, lebih jauh lagi, Gus Dur memberikan penjelasan bahwa seorang penyair cilik macam Mohammad Sofyan dan Avida Virya bisa saja menjadi lebih dekat kepada Tuhan, karena penghayatan yang ada di puisinya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline