Lihat ke Halaman Asli

Mj Jafar Shodiq

Koordinator Nasional Kaukus Muda PPP

Fenomena Gelombang Post-Islamisme Masyarakat Iran

Diperbarui: 14 April 2021   12:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Mj Ja'far Shodiq (Kornas Kaukus Muda PPP)

Asef Bayat dalam artikelnya berjudul The Coming of a Post-Islamis Society secara jeli melihat sebuah fenomena baru berupa gelombang masyarakat post-Islamisme di masyarakat Islam. Menariknya gelombang post-Islamisme ini justru muncul di negara Islam pertama yakni Iran. Ia melihat di Iran, tengah terindikasi menuju masyarakat post-Islamisme.

Salah satu ciri masyarakat Iran yang sedang memasuki era post-Islamisme ini menurut Asef Bayat terlihat ketika masalah sekulerisme mulai bergaung di negara tersebut. Misalnya tentang istilah politik Islam dinilai sedang memudar di negara tersebut. Lantas apa yang disebut dengan post-Islamisme, indikasi dan penyebabnya?

Di sini Asef Bayat berhasil mengurai secara detail dengan studi kasus di Iran kontemporer. Tidak hanya mengurai tentang indikasi dan penyebab terjadinya post-Islamisme, ia juga menjelaskan tentang bagaimana proses awal fase islamisme di masyarakat Iran yang kemudian pada perkembangannya mengalami masa transisi perubahan sosial menuju masyarakat post-Islamisme.

Terkait fase Islamisme masyarakat Iran sendiri ditandai dengan meletusnya revolusi Iran pada 1979.  Dimana pada fase ini terjadi pembentukan negara Islam pertama di zaman modern. Bersamaan dengan itulah fase Islamisasi masyarakat Iran berlangsung secara bertahap. Ciri utama Islamisme Iran adalah menciptakan sistem pemerintahan Islam berdasarkan gagasan baru dari Valayat-i Faqih. Menurut Konstitusi Iran 1979, semua hukum di negara itu harus sesuai dengan prinsip-prinsip Islam.

Terkait istilah post-Islamisme, Asef Bayat menjelaskan sebagai sebuah gambaran tentang suatu kondisi masyarakat Islam setelah melalui berbagai tahapan, mulai daya tarik, energi, simbol dan sumber legitimasi islamisme mulai pudar. Ia menegaskan, post islamisme bukan berarti sebagai kondisi anti islam, melainkan lebih cenderung sebagai bentuk resekularisasi agama.

Hal itu ditandai dengan seruan untuk membatasi peran politik agama. Di Iran kontemporer, post-Islamisme diekspresikan dalam gagasan fusi antara Islam (sebagai keyakinan yang dipersonalisasi) dan kebebasan dan pilihan individu. Dimana post-Islamisme dikaitkan dengan kecepatan demokrasi dan aspek modernitas. Gagasan ini lahir dari anggapan bahwa Islam tidak memiliki jawaban untuk menjawab semua masalah sosial, politik, dan ekonomi di masyarakat.

Lantas apa indikasi yang digunakan Asef Bayat dalam melihat fenomena post-Islamisme di masyarakat Iran kontemporer? Dalam hal ini, ia melihat ada tiga indikasi besar.

Pertama, ditandai dengan pembangunan Ibu Kota Teheran. Dimana sejak 1989, Gholamhosain Karbaschi telah mendesain ulang Ibu Kota Teheran. Ia menampilkan sebuah wajah baru ibukota yang jauh dari citra kota Islam. Mulai dari jalan raya, papan reklame komersial besar, dan pusat perbelanjaannya lebih mengingatkan pengunjung pada Madrid atau Los Angeles daripada Karbala atau Qom. Pusat budaya yang indah ini didirikan untuk melayani berbagai hiburan. Mulai dari seni, musik, dan teknologi modern. Ada popularitas yang luar biasa di kalangan anak muda untuk musik klasik Barat dan Iran. Lebih dari 75 persen dari penonton konser ini adalah pria dan wanita muda.

Kedua, lahirnya sejumlah gerakan pemikiran alternatif. Di tingkat intelektual, wujud paling dramatis Post-Islamisme adalah gerakan baru Andisheh-ye Diger atau Pemikiran Alternatif, yang dipimpin oleh profesor filsafat, Abdul-Karim Soroush. Gerakan ini tidak anti-Islam atau sekuler, tetapi berusaha untuk mendefinisikan kembali kemampuan agama di zaman modern untuk mengatasi masalah kebutuhan manusia yang semakin kompleks.

Gerakan Pemikiran Alternatif mendapat dukungan luas di kalangan para pemuda terpelajar dan berpikiran religius serta kelompok sekuler Iran, terutama kelas menengah modern yang banyak terpinggirkan secara politik. Para ulama muda ini peduli dengan agama sebagai institusi dan masa depan mereka. Namun mereka merasa basis hak prerogatif dan legitimasi mereka terkikis di tengah tumbuhnya anti-klerikalisme di masyarakat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline