Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Iqbal Awaludien

Penulis konten suka-suka!

Benturan Alam Pemikiran Generasi Tua dan Muda dalam "The Farewell" (2019)

Diperbarui: 18 Desember 2020   10:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sohu.com

Rasa kangen terhadap keluarga tidak bisa dibelenggu, meski jarak sejauh separuh dunia. Begitu pula rasa rasa sayang, dari seorang cucu terhadap nenek dan sebaliknya, tidak bisa dikikis begitu saja oleh perbedaan budaya.

Inilah yang dirasakan Billi Wang, warga Amerika keturunan Asia yang sudah 25 tahun tinggal di New York. Ia tetap merasa shock saat mendapat kabar dari Ayah-Ibunya bahwa sang nenek (Nai Nai) yang berada di Tiongkok, menderita kanker parah dan hanya punya waktu lebih kurang tiga bulan.  

Dengan nilai-nilai Barat yang kaffah melekat di dalam dirinya, seperti transparansi, keterusterangan, dan kebebebasan ekspresi, Billi meyakini kalau bentuk rasa sayang itu harus diungkapan dengan memberi tahu Nai Nai terkait apa yang sedang ia hadapi. Namun tak dinyana, keyakinannya itu malah mendapat penentangan keras dari sang Ayah dan Ibu yang kemudian menyitir pepatah bijak Tiongkok

"Ketika seseorang menderita kanker, bukan kanker itulah yang membunuhnya. Hal yang membunuhnya adalah rasa takut"

Itu artinya, kondisi Nai Nai harus disembunyikan serapat mungkin atau dengan kata lain, merekonstruksi keadaan seakan baik-baik saja. Billi pun putus asa, terlebih ia juga dilarang ikut menjenguk karena dianggap tak akan bisa mengontrol emosi yang dikhawatirkan berujung pada terbongkarnya rahasia.

Dari sinilah plot dalam film The Farewell (2019) bergerak: Kenekadan Billi yang menyusul sendiri dari Amerika untuk mengucapkan selamat tinggal; Keterpanaan Billi terhadap kondisi negeri leluhurnya; Interaksi canggung antaranggota keluarga yang telah puluhan tahun tak bersua; Pernikahan palsu yang diadakan agar bisa mengalihkan perhatian sang nenek; Dan pergulatan batin setiap anggota keluarga atas kebohongan yang mereka sepakati.

Lalu apakah Nai Nai akhirnya tetap meninggal? Dan apakah "kebohongan baik" itu berhasil menghindarkan sang nenek dari penderitaan?

Saya sarankan nonton sendiri filmnya untuk menjawab kedua pertanyaan tersebut, hehehe. 

Di sini saya hanya akan memberikan sedikit kesan yang timbul setelah nonton film garapan sutradara Lulu Wang ini. Pertama, saya merasa relate dan tersentuh karena penggambaran hubungan antara Billi dan Nai Nai begitu natural dengan kasih sayang yang terlihat begitu dalam, melebihi hubungan Billi dan orangtuanya sendiri.

Sebab, nenek yang biasanya bersikap agak diktator kepada anak-anaknya, dihadapan Billi justru melunak.  Sebaliknya, Billi yang biasanya kritis dan bicara blak-blakan, bahkan sering cekcok dengan sang Ibu, selalu menurut pada nasihat sang nenek.

Hubungan erat itu tentu tidak tiba-tiba turun dari langit, dan dengan cerdik, sejarah kedekatan tersebut dikonstruksi lapis demi lapis di dalam dialog-dialog antar tokoh yang bisa membuat kita bertanya pada dalam diri, terutama buat kamu-kamu yang merantau jauh dan sudah jarang pulang, "Gimana ya perasaan Kakek-Nenek  yang jauh dari anak-anak dan cucunya?"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline