Lihat ke Halaman Asli

Mim Yudiarto

TERVERIFIKASI

buruh proletar

Puisi | Para Penyintas di Tengah Senja yang belum Terbebas

Diperbarui: 12 September 2019   20:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pixabay.com

Mencicipi suasana senja yang berbeda. Ketika halimun pekat bertebaran di ubun-ubun kepala. Di sebuah kota tempat para penyair berpentas di punggung selat Melaka. Membaca Gurindam Dua Belas sembari menahan nafas. Melafalkan Syi'r al-Irsyadi sebagai bukti selalu ada garis yang jelas bagi para penyintas batas. Atas beberapa berkas perkara yang telah dituliskan secara hati-hati. Oleh para sahabat Nabi.

Halimun itu menutupi atap rumah dalam bentuk remah-remah. Berdiam di sana untuk beberapa lama. Menunggu kekasih langit datang bertamu. Hujan yang membawa serta sejuta rindu. Dari masa lalu yang ditolak kedatangannya oleh waktu, hingga rencana terbaru dari masa depan untuk menghindari rasa ragu.

Para penyintas menutupi mulut dan hidung menggunakan helai sapu tangan. Atau jika tak ada, setidaknya mendengarkan berita yang menyenangkan agar bisa sekedar melupakan. Namun ternyata, bumi ini tidak hanya sekedar berduka karena kehilangan seorang dirijen orkestra. Namun juga berbela sungkawa atas kematian demi kematian ibu belantara.

Senja turun perlahan. Tubuh rembulan separuh kelihatan. Warnanya membara seperti pipi seorang dara yang dipinang oleh cinta. Malam tak bisa lagi diajak bercanda. Gurauan-gurauan yang ada hanyalah satir di linimasa.

Aku harus bagaimana? Apakah cukup menuliskan sajak-sajak renta, atau menenggelamkan diri dalam khayalan tentang semesta yang baik-baik saja?

Pekanbaru, 12 September 2019




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline