Lihat ke Halaman Asli

Mim Yudiarto

TERVERIFIKASI

buruh proletar

Puisi│Senja Tak Lagi Membuta terhadap Cinta

Diperbarui: 20 Agustus 2018   12:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

snapshot.canon-asia.com

Aku jatuh dalam iba. Senja kau bakar hingga berjelaga. Tak tahukah kau bahwa yang ditunggu mata itu jingga. Bukan cipratan warna dari senja yang hangus terluka. Sungguh itu bisa menyeret percikan airmata. Jauh lebih dalam ke dasar telaga yang memutuskan untuk berduka. 

Lagipula. Bukankah sebaiknya kau menjerang matahari daripada menjaringnya. Menjerang cahaya akan menambah kilaunya seperti mutiara. Sedangkan menjaring berarti menangkapnya seolah mangsa. Apakah kau akan menjadikannya kekasih, atau justru berusaha memanaskan hatimu hingga mendidih? Atau mungkin kau sengaja memburu perih?  Sebab kau berpikir dunia ini penuh drama yang merintih-rintih?

Satu hal lagi. Hujan tak pernah bersedih hati. Hujan nyaris selalu bergembira. Tak ingatkah kau betapa jutaan tetesnya menyuarakan orkestra kebahagiaan. Dari daun-daunan yang meranggas, sawah-sawah yang mengeras, dan tubuh sungai yang mencadas.  Apalagi ketika kau menyempatkan diri membagi wangi melati.  Persis di momentum hujan berhenti. Musik alam yang terdengar akan sesempurna Vivaldi.

Namun aku tidak akan mencegahmu bila kau tetap berkeras hendak menjamu kata dan kalimat yang menurutmu berjatuhan dari langit yang tak lagi biru. Di sebuah perjamuan syair ketika senja terlanjur menua, matahari tersandera dan malam menolak hujan dengan cara mendatangkan purnama. Aku akan tetap hadir dan mengajakmu berdansa. Menautkan langkah kaki dan tatapan mata. Sampai akhirnya matahari dan hujan melahirkan bianglala. Di senja yang tak lagi membuta terhadap cinta.

Jakarta, 20 Agustus 2018




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline