Lihat ke Halaman Asli

Media Sosial Sebagai Sarana Komunikasi dan Advokasi Kebijakan Publik di Indonesia

Diperbarui: 30 Maret 2024   21:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Instagram @jalahoaks. Sumber: Dokumen Penulis

Menurut Moedia (2020) tren media sosial yang sedang berkembang dan marak digunakan masyarakat yang diliris oleh Sensor Tower adalah Tiktok, Facebook, Instagram (Harahap & Adeni, 2020). Tren Media sosial ini telah mempengaruhi cara kita berinteraksi dan mengkonsumsi konten secara signifikan. Salah satu tren terkini adalah dominasi video pendek, seperti yang terlihat dari popularitas platform TikTok, Instagram Reels, dan Youtube Short yang menyoroti preferensi pengguna untuk konten yang cepat, kreatif, dan seringkali menghibur. Media sosial bukan hanya tempat untuk berbagi foto dan video, tetapi juga menjadi kanal penting untuk menyebarkan fakta dan informasi terkait kebijakan publik serta sebagai sarana mempengaruhi bagi aktivisme digital dan advokasi kebijakan publik (Makmun, Rohim, & Sunarsiyani, 2021). Kampanye-kampanye online, petisi online, dan gerakan hashtag telah berhasil memobilisasi dukungan untuk berbagai isu, mulai dari lingkungan hingga hak asasi manusia.

Kehadiran media sosial telah mendorong transparansi dalam proses pembuatan kebijakan publik dan memungkinkan partisipasi publik yang lebih luas. Melalui platform-platform seperti Twitter, Instagram, Facebook, TikTok pejabat publik dapat berkomunikasi langsung dengan warga dan merespons pertanyaan serta masukan dari mereka. Hal ini memungkinkan kampanye politik, organisasi masyarakat sipil, dan individu untuk memobilisasi dukungan, menyebarkan kesadaran, dan menggerakkan tindakan terkait isu-isu tertentu (Adnyani & Rusadi, 2023). Namun, penting untuk diingat bahwa meskipun hiburan virtual dapat menjadi aset yang luar biasa untuk menyebarkan fakta atau informasi terdapat juga risiko penyebaran berita bohong (Andzani & Irwansyah, 2023). Oleh karena itu, penting untuk melakukan verifikasi fakta sebelum menyebarkan informasi dan memastikan bahwa advokasi kebijakan publik didasarkan pada informasi yang akurat serta terpercaya.

Komunikasi dan advokasi kebijakan publik merupakan serangkaian proses komunikasi yang dilakukan dengan tujuan untuk mempengaruhi atau merubah kebijakan publik tertentu. Banyaknya desakan dan tuntutan publik yang disalurkan melalui media sosial menunjukkan fenomena baru dalam proses advokasi kebijakan yang melahirkan adanya advokasi digital. Hal ini membuka peluang bagi seluruh elemen masyarakat untuk dapat mempengaruhi sebuah kebijakan. Ada berbagai upaya advokasi digital yang selama ini telah dilakukan oleh kelompok masyarakat di Indonesia, yaitu:

  • Menurut penelitian yang dilakukan oleh Makmum, Rohim dan Sunarsiyani (2021), sejak tahun 2003 Kelompok Disabilitas Kabupaten Jember memanfaatkan Facebook sebagai sarana advokasi digital untuk mempengaruhi kebijakan publik agar lebih ramah terhadap kelompok disabilitas. Terdapat tiga isu strategis yang menjadi perhatian utama bagi kelompok disabilitas tersebut, yakni bidang kesehatan, tenaga kerja, dan pendidikan. Mereka melakukan kampanye di media sosial untuk menyuarakan hak dan menyampaikan fakta terjadinya diskriminasi terhadap penyandang disabilitas dengan tujuan untuk mempengaruhi pendapat umum meskipun belum sampai pada perubahan yang substansial.
  • Menurut Christanty (2020), Grup Facebook Info Cegatan Blitar (ICB) sebagai sarana advokasi digital dalam pelayanan administrasi kependudukan masyarakat Kabupaten Blitar. ICB merupakan wadah aspirasi dan keluhan terhadap fasilitas pelayanan publik pada Dispendukcapil yang dinilai sangat kurang efektif dan efisien. Dalam proses advokasi kebijakan terdapat empat tahapan yang dilakukan yaitu membangun kesadaran kritis anggota akan kebijakan atau fasilitas publik Pemkab Blitar, menggandeng Diskominfo untuk dapat menindaklanjuti permasalahan publik agar tercipta komunikasi dua arah, kemudian hasil dari advokasi kebijakan yang mana Dispendukcapil akhirnya meluncurkan program baru dan meningkatkan keterbukaan informasi publik, dan melakukan controlling terhadap upaya Dispendukcapil dalam meningkatkan pelayanan adminduk di Kabupaten Blitar.
  • Pada penelitian yang dilakukan oleh Aulia dan Bevaola (2022), Advokasi digital melalui tagar tunda pilkada 2020 di Twitter yang berlangsung dari Maret hingga Desember 2020. Ini merupakan aksi kolektif yang digerakkan oleh individu bukan kelompok advokasi. Dalam kasus ini publik mendesak pemerintah agar menunda Pilkada Serentak Tahun 2020 mengingat pada saat itu Indonesia sedang dalam masa darurat covid-19. Meskipun desakan publik pada saat itu sangat tinggi, namun ternyata belum berhasil mempengaruhi kebijakan publik karena Pilkada Serentak Tahun 2020 tetap dilaksanakan pada 9 Desember 2020.
  • Menurut penelitian yang dilakukan oleh Wiryawan, Rini, dan Lusia (2021), Komunikasi dan advokasi melalui akun Instagram @Jalahoaks milik Diskominfotik Pemprov DKI Jakarta dalam mengatasi permasalahan mengenai maraknya penyebaran berita hoaks. Masyarakat dapat melakukan aduan berita melalui direct message (dm) Instagram atau via Whatsapp, kemudian Diskominfotik Pemprov DKI Jakarta akan melakukan klarifikasi fakta pemberitaan hoaks melalui feed dan story dalam kategori fakta atau disinformasi. Dengan demikian dapat mengedukasi masyarakat melalui literasi digital tentang informasi yang salah dan perlu untuk dihindari agar tidak disebarluaskan. Sepanjang tahun 2020 tercatat ada 1.078 aduan kasus berita hoaks di DKI Jakarta dengan tingkat klarifikasi 94% sampai 100%.

Dari berbagai upaya di atas, kita bisa memahami bahwa media sosial sebagai sarana komunikasi dan advokasi kebijakan publik di Indonesia telah membuktikan sebagai platform yang dapat menciptakan kesadaran, memobilisasi dukungan, dan mempengaruhi opini publik terhadap suatu kebijakan publik. Namun efektivitasnya tergantung pada strategi komunikasi yang dilakukan dan audiens yang ditargetkan. Dengan penggunaan yang cerdas dan strategis media sosial dapat menjadi sarana yang efektif untuk mempengaruhi perubahan kebijakan publik, seperti advokasi digital yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia telah menunjukan dampak dalam beberapa tahun terakhir. Meskipun masih ada tantangan dalam memastikan bahwa advokasi digital tersebut dapat efektif secara keseluruhan untuk mengatasi suatu masalah publik, sehingga diperlukan upaya bersama dari pemerintah, masyarakat dan lembaga terkait untuk mengembangkan kembali advokasi digital.

Menggunakan media sosial dapat menjadi cara yang efektif untuk berkomunikasi dan memperjuangkan kebijakan publik, oleh karena itu marilah kita manfaatkan dengan membuat konten yang informatif, menarik dan relevan. Terdapat beberapa tips yang bisa kamu lakukan, yaitu pahami secara komprehensif kebijakan publik yang ingin diperjuangkan, tentukan siapa target audiens, pilihlah platform media sosial yang sesuai dengan minat audiens, selalu libatkan audiens untuk berpartisipasi dalam diskusi, gunakan tagar dan mentions, dukung argumen dengan data dan fakta yang valid, terus evaluasi kinerja konten dan respon audiens. Dengan langkah-langkah tersebut dapat secara efektif untuk berkomunikasi dan memperjuangkan kebijakan publik dengan lebih baik.

 ADVOKASI DIGITAL UNTUK PERUBAHAN KEBIJAKAN!!!

REFERENSI

Adnyani, Ni Wayan Giri dan Udi Rusadi. (2023). “Media Sosial Sebagai Katalis Pendidikan: Dinamika Gerakan Kesetaraan Gender di Indonesia Melalui Perspektif Stukturisasi”. Susunan Artikle Pendidikan, 8 (1), 70-79.

Andzani, D. (2023). “Dinamika Komunikasi Digital: Tren, Tantangan, dan Prospek Masa Depan”. Jurnal Syntax Admiration, 4(11), 1964-1976.

Aulia, Firda da Bevaola Kusumasari. (2022). “Tunda Pilkada: Apakah Advokasi Digital Berhasil Mempengaruhi Proses Pembuatan Kebijakan?”. Jurnal Komunikasi, 16 (20), 147-168.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline