Lihat ke Halaman Asli

Meidy Y. Tinangon

Komisioner KPU Sulut | Penikmat Literasi | Verba Volant, Scripta Manent (kata-kata terbang, tulisan abadi)

Si Rakus Penguasa Danau Tondano

Diperbarui: 19 September 2021   12:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Eceng gondok berbunga indah (sciencephoto.com)

Namaku Eceng, margaku Gondok. Hehe, tak ada yang semarga dengan keluargaku di danau ini. Moyangku diculik tahun 90-an dari pulau seberang karena om dan tante penculik itu terpukau dengan bunga yang cantik menawan. Konon, di kolam sebuah istana.

Dua ahli taksonomi: Carl Friedrich Philipp von Martius dan Hermann Maximilian Carl Ludwig Friedrich zu Solms-Laubach memberi keturunan kami nama ilmiah yang indah. Awalnya Mart memberi kami nama Pontederia crassipes, kemudian Solms akhirnya memberi nama Eichhornia crassipes. Keren, kan? Oh ya, Taksonomi kalau gak salah adalah ilmu tentang pengelompokan mahluk dan tata nama jenis sesuai sifatnya. 

Aku sampai lupa, aku ini keturunan keberapa. Sudahlah, yang jelas kami penguasa Danau Tondano, di Minahasa Sulawesi Utara, hingga saat ini. 

Kami menang suksesi tanpa kampanye dan politik uang, hanya politik ruang. Ya, politik ruang. Begini, kompetitor kami Hydrilla, berpaut di tanah dasar danau, berharap nutrisi lumpur danau. Mereka lupa, setiap tumbuhan bergantung pada cahaya sang mentari. Dan kami menutupi ruangnya, dia pun kehilangan cahaya cinta untuk merajut fotosintesa. 

Kompetitor lain, namanya Kangkung. Ilmu kami sama, ilmu mengapung. Sayangnya, kangkung keasikan menari lenggang kangkung. Dipetik lelaki-lelaki fasung. Disantap bersama teman sekampung. Sementara kami, ditakuti orang sekampung. Makin dipagar, makin menyebar.  Hehe, selain bunga yang sexy, kami unggul urusan sex. Eits, jangan salah paham sex itu soal reproduksi. Kami beranak, baik kawin atau tak kawin. Kawin berbunga dan berbiji seribu. Tak kawin, bertunas banyak, beranak seibu. 

Namaku Eceng. Aku disebut Si Rakus. Aku tak marah, itu bukan bully. Aku memang rakus, makan segalanya tanpa kuatir. Makan nasi lumpur, lauk sisa rumput, hingga makan sisa pestisida hingga merkuri. Makanya, aku juga ada di kolam limbah industri. Tak takut polusi, malahan mencerna polutan. 

Ah, asyiknya kerakusan ini. Makanan berlimpah, berkuasa lagi. Tak usah cemburu padaku. Toh aku tak punya tabungan gede, tak punya mobil mewah, dan, rumah mewah juga tak punya. Bisa makan, bisa berenang bebas, itu sudah cukup. Bahagia.

Merasa terganggu denganku? Tak mengapa. Akupun rela. Sekaligus kasihan. Sudah sekian lama usaha bersama menghentikan kekuasaanku, selalu gagal dan berulang.  Padahal, berulang kali biaya besar teranggarkan. Milyar. 

Hai manusia, cerdaslah menghadapiku. Tak usah menghabisi seluruh keluargaku. Nanti dituduh genocide. Hehe. 

Kendalikan saja diriku secara fisik. Kurung dalam zona nyaman. Panen aku sebelum aku kawin dan berbunga. Dan jangan kau potong diriku, lalu biarkanku pura-pura mati di tepi danau. Esok hari kau kembali aku bangkit menjadi seribu. Siap menyedot seribu kali seribu uangmu. Lagi. Dan, kalau toh aku mati, aku mencipta makanan bagiku, tetapi kotor bagi danaumu. Aku rakus, makan yang kotor-kotor.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline