Lihat ke Halaman Asli

Meidy Y. Tinangon

Komisioner KPU Sulut | Penikmat Literasi | Verba Volant, Scripta Manent (kata-kata terbang, tulisan abadi)

Ziarah ke Matahari

Diperbarui: 21 April 2021   22:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

wallpaperacaccess.com

Malam ini aku tak memilih bintang atau rembulan untuk ziarahku. Aku memilih mengunjungi matahari. Kupilih malam, di saat dia tidur nyenyak, tanpa sengatan yang menghanguskan.  

Tadi siang, aku membencinya. Pancaran cahayanya membawa panas yang menyiksa. Malam ini, aku bertanya kepadanya tentang kekejaman cahayanya siang tadi.

Sang mentari berkisah. Bahwa panas tadi siang bukan salahnya. Cahayanya adalah sahabat bumi.

Seharusnya dia hanya datang mencium bumi sebentar saja, meninggalkan hadiah kecupan energi, lalu kembali lagi.  

Tetapi tanah-tanah beton menolak kehadirannya. Hadiah batal ditinggalkan,  dia kembali dengan rasa sesal di dasar hati.  

Panas makin membara, ketika bumi menghadangnya di jalan pulang. Lalu mengurungnya di dalam rumah kaca beratap karbon. Rumah yang mengurung dan menumpuk panas. Rumah yang menghancurkan bongkahan es. Rumah yang panas membakar tanpa api. 

"Panas yang menyiksa tadi siang bukan salahku," ungkap sang mentari dalam mimik kesedihan. 

"Esok siang, jumpai aku di hutan bumi yang masih tersisa. Kau tak akan menangis kepanasan. Kita akan berpelukan dalam kehangatan cinta," ungkapnya sambil memelukku penuh kehangatan cinta.  

Aku pulang sebelum dia bangun. Sampai jumpa esok siang di hutan bumi yang masih tersisa. Tak sabar menantimu mentariku, energi positif dan semangat juangku ...




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline