Lihat ke Halaman Asli

Megawati Sorek

Guru SDN 003 Sorek Satu Pangkalan Kuras Pelalawan Riau

Dua Kekuatan

Diperbarui: 25 April 2023   05:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri: Koleksi Desain Megawati Sorek

Aku melewati jalan setapak yang belum juga menemukan ujung. Kedua  sisi jalan hanya ada kebun singkong dan semak belukar. Permukiman akan dijumpai setelah keluar dari gang ini. Entah mengapa malam ini lebih mencekam. Desau angin terasa makin kencang, bahkan embusannya mampu memainkan helaian rambut sebahuku. Terlihat samar, pepohonan singkong berayun, dedaunannya bergoyang seperti bayangan yang melambai-lambai. Aku mempercepat langkah, mengingat waktu mulai menapaki  malam yang makin larut. 

Aku baru saja selesai membantu persalinan salah satu warga. Berprofesi sebagai bidan desa di kampung terpencil dan baru seminggu bertugas. Aku tak bisa menolak permintaan warga dan selalu siap kapan pun. Seperti malam ini, nahasnya sepeda motor Pak Tio yang akan mengantarkanku pulang mendadak mogok. Aku memutuskan untuk pulang jalan kaki saja karena jaraknya hanya tinggal sedikit saja dari rumah dinas yang kutempati. 

Akhirnya, aku bernapas lega. Mendapati telah berada di ujung gang. Jalan desa terlihat lengang. Orang-orang telah meringkuk di balik selimut hanyut ke dunia mimpi. Aku mematikan lampu senter dari ponselku, karena cahaya telah didapatkan dari  kerlip lampu-lampu di rumah  para penduduk desa. Hanya tinggal sekitar enam rumah yang harus aku lalui.

Aku berhenti mendadak, ketika mendengar bunyi erangan. Aku berusaha menajamkan pendengaran. Lirih dan pelan, tetapi suara bisikan dengan suara parau itu semakin jelas terdengar.

"Mati." Kata itu  terdengar berulang kali.

Jantungku berdetak kencang. Rasa takut yang amat besar menjalariku. Setelah memastikan tidak tahu dari mana arah suara itu berasal. Tengkuk serta rambut halus di seluruh tubuh merinding. Sebisa mungkin mulutku berkomat-kamit merapal ayat suci yang kuingat.

"Astagfirullah!" Aku tersentak  dan berteriak histeris.

Hampir saja tubuh kurusku sontak terjungkal. Gerakan mundur refleks aku lakukan. Sosok nenek tua bungkuk menyeringai berada beberapa langkah di depanku. Kedua manik mata wanita ringkih itu berwarna putih semua tanpa ada pupilnya. Tongkat kayu dengan ujung melengkung berada di genggamannya.

Tubuhku gemetaran dengan tungkai kaki menjadi  kaku, tak dapat untuk berlari. Seakan-akan menancap di tanah. Lidahku kelu tak mampu untuk berucap apalagi menjerit. Suara ini tersangkut di tenggorokan. Mataku membeliak ketika secepat kilat sang nenek melayang ke arahku. Entah dari mana, kekuatan itu datang tiba-tiba. Aku pun berbalik badan dan segera berlari sekuat tenaga. Suara kekehan sang nenek justru terdengar sangat dekat. Aku tak peduli lagi, dalam pikiran hanya harus berlari secepat mungkin. Tas peralatan medisku pun sampai terlepas dan terserak.  Sayang, tenaga yang terkuras juga ketakutan tiada tara mengganggu fokus. Kaki-kakiku saling beradu satu sama lain, hingga tubuh ini limbung tak terkendali. Aku pun tersungkur mencium tanah yang lembap.

***

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline