Lihat ke Halaman Asli

Tukang Goda

Diperbarui: 17 Desember 2018   21:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku duduk bersama angin sepi. Ku lihat kunang-kunang mulai menari menghias malam. Di sebuah rumah, tak jauh dari tempat sepasang suami-istri dimakan truk, nampaklah seorang perempuan tua menggendong anak. Tiga bulan, usia anak itu. Jalannya sempoyongan.

Perempuan itu menyisiri keringnya malam sembari menggerutu. Tak ku tahu, apa yang terjadi pada perempuan itu. Sementara anak yang digendong tak berhenti menangis. Beberapa orang tengah bersamaku mulai menelanjangi perempuan berwajah bulat telur itu. Kemudian mereka berkumpul di sebuah pohon besar. Ya, pohon yang dipercaya masyarakat sekitar mampu mengabulkan dan memberi petunjuk suatu hal.

Pak Toyo, orang tertua di antara 3 orang lainnya melangkah lebih dulu. Sementara sisanya tak henti menelanjangi perempuan itu. Mereka tak mau kehilangan jejaknya. Sebelum memasuki gang kecil, salah seorang laki-laki garang memanggil perempuan. Sayang, angin malam membawa kabur suara laki-laki itu. Perempuan itu hampir di bibir gang. Karena tidak terima ada orang asing yang masuk di sekitar desa, laki-laki itu mengejarnya.

Dari belakang perempuan itu cantik. Lihat saja pantatnya, batin salah satu lelaki. Apalagi rambutnya. Ketika terusik angin, mulai menari-nari sendiri.

"Berhenti!" teriaknya.

"Hahahaha, mau ke mana kamu?" goda laki-laki itu sebelum perempuan benar-benar menampakkan bulan purnamanya.

Aku sedari duduk di pojok warung, sengaja mencuri waktu. Kuikuti gerak-gerik empat lelaki brandal itu. Ya, lelaki yang biasa menodong di pasar dan menggoda gadis desa. Aku masih ingat, ketika baru memasuki usia 6 tahun, Siti, anak Pak Lurah menjadi korban. Korban virus cinta hingga batal kawin.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline