Lihat ke Halaman Asli

Kepingan Hati di Jendala(1)

Diperbarui: 17 Desember 2018   12:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Debur ombak di pantai Telengria Pacitan adalah saksi atas kebohonganmu. Begitu mudah kau bermain teka-teki cinta ini. Kau masih ingatkan? Bagaimana usahamu untuk mendapatkanku waktu itu? Surat cinta kau kirimkan pagi-pagi sebelum ayamku bangun. Kepingan hati kau letakkan di jendala rumahku. Tujuh hari berturut-turut. Niatmu menjadikanku kekasih tak surut.

"Nduk, ini hati siapa kok di jendela depan?" tanya Ibuku suatu pagi.

Setengah mengantuk, aku ikut penasaran. Dengan langkah tergontai, sesekali menarik selimut yang panjang, hatimu bertengger di jendela. Awalnya aku tak mengerti apa maksudmu melakukan itu. Sementara kau, dengan santai tersenyum di balik pohon mangga di seberang jalan. Terlebih, aku tidak mengerti maksudmu, begitu kukeluar rumah, kau justru berlari bak maling.

"Hei, apakah ini hatimu?" teriakku.

Kau masih berlari. Sama sekali tak menengok. Siapa dia, pikirku di antara embun.

Tepat di hari ke-tujuh, aku memergokimu menaruh kepingan hati di jendela. Tanpa kau sadari, aku berdiri mematung di dekat bibir jendela. Karena ruang gelap, seperti biasa lampu tengah dimatikan. Kutarik paksa tanganmu. Kau berteriak. Aku tak peduli.

"Parjo?" Ku sebut namamu setengah tak nyana.

Parjo adalah teman sekolah dasar. Ia anak pak lurah, Suwito Nardinoyo. Anak semata wayang itu, kini bekerja di sebuah kantor desa sebagai sekretaris. Ia pandai merangkai kata. Sejak sekolah menengah pertama, ia sering menjuarai lomba menulis puisi. Ia juga pernah didapok menjadi ketua OSIS. Beberapa teman seangkatanku banyak yang menggodanya. Ada yang membawakan sarapan setiap pagi. Ada yang rela menuliskannya saat pelajaran. Ada yang mau mengerjakan tugasnya. Hingga ada yang mau dijadikan tawanan saat ia akan dikeroyok kakak kelas, karena ulahnya tak sengaja. Namun, semua itu tidak padaku. Aku biasa saja kepadanya. Tidak menjadikannya dewa, bahkan malaikat sekalipun. Toh aku tahu, gadis-gadis itu memerlakukan Parjo sedemikian hanya ingin menjadi kekasih.

Dua tahun, setelah tamat sekolah menengah pertama, aku dan Parjo terpisah tempat. Aku melanjutkan ke SMA di desa. Sementara Parjo SMA kota. Sebelum kami berpisah sekolah, Parjo pernah datang ke rumahku. Ia menitipkan sebuah diari manis merah jambu. Aku tidak membuka diarinya karena bukan hakku. Ada satu lagi kertas kecil yang dilipat sangat kecil. Tulisan itu tertulis, "Kamu cantik, baik, dan pandai." 

Membaca tulisan Parjo yang tak sebegitu bagus itu aku tersenyum tipis. Aku biarkan kertas kecil warna biru itu tergeletak di meja tengah. Di hari lain, kucari ingin kusimpan, ternyata sudah tak ada.

"Apakah cuilan kertas biru masih kamu simpan?" tanya Parjo di kehening pagi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline