Lihat ke Halaman Asli

Aku Bertasawuf

Diperbarui: 2 Desember 2015   21:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tasawuf, sebuah proses dan usaha penyucian jiwa. Itulah yang aku fahami tentangnya. Dalam proses dan usaha tersebut banyak jalan yang bisa kita tempuh, itu yang biasa disebut thoriqot. Thoriqot menurutku adalah jalan untuk mendekatkan diri kepada-Nya, setiap orang punya thoriqotnya masing-masing, tak ada klaim yang ini benar yang ini salah, jika memang semua berorientasi pada-Nya itu sah-sah saja. Hal-hal kecil yang dilakukan secara istiqomah dengan niat yang baik dan benar itu pun bisa menjadi jalan dalam bertasawuf.

Seperti selalu membaca bismillah setiap akan melakukan suatu hal dan mengakhirinya dengan Alhamdulillah, menyingkirkan benda-benda yang mengganggu di jalan, makan dan tidur dengan niat agar kuat melakukan ibadah-ibadah, berwudhu dengan menghayati setiap bacaan do’a di dalamnya dan lain-lain. Namun jika ingin menuju maqam yang lebih tinggi jangan berhenti di hal-hal kecil tersebut, lanjutkan dengan thoriqot-thoriqot yang lain.

Dunia tasawuf, mungkin sebenarnya aku sudah mulai mengenalnya sejak masih di bangku sekolah dasar, karena orang tuaku begitu rutin mendengarkan pengajian ihya’ ulumuddin oleh salah satu pengasuh pondok pesantren di kabupaten Lamongan yang disiarkan melalui radio pesantren tersebut. Namun kala itu aku belum terlalu faham, aku hanya sekedar ikut mendengarkan.

Aku hanya menikmati ilmu-ilmu yang disampaikan bahkan terkadang banyak hal yang aku belum mampu menangkapnya dengan baik hingga suatu ketika aku bertanya pada ibuku dan ibuku tersenyum sembari menjawab “kamu akan faham pada waktunya, nduukk.. kamu sekarang masih terlalu kecil untuk mengerti itu, kelak kalau kamu sudah besar kamu akan mengerti”, aahh aku sempat agak kecewa dengan jawaban itu, aku menggerutu dalam hati “emang kenapa kalau aku masih kecil”, tapi sekarang aku mengerti, dunia tasawuf memang terkadang sulit dijelaskan dengan kata, apalagi kepada anak-anak.

Yang terpenting adalah tanamkan akhlak yang baik sejak kecil pada mereka, tanamkan tauhid yang kokoh, itu akan menjadi pondasi yang baik bagi mereka dalam menjalani kehidupannya kelak dan biarkan mereka mengenal serta mengkaji dunia tasawuf pada waktunya. Mengenal serta mengkaji dunia tasawuf tentu memberikan hikmah yang banyak, diantaranya: merasa bagaimana kotornya diri ini, merasa kecilnya diri ini tanpa-Nya, merasa diri bukan apa-apa dan kemudian berusaha untuk membenahi diri, memperbaiki akhlak, menjernihkan pikiran dan menyucikan hati.

Dalam mengenal dan mengkaji dunia tasawuf, setiap orang pasti punya pengalaman yang berbeda, tak terkecuali aku. Salah satu pengalaman yang tak terlupakan olehku adalah ketika usai menyelesaikan pendidikan jenjang SMA, aku memutuskan untuk tidak melanjutkan kuliah, aku memilih mondok terlebih dahulu untuk menyelesaikan hafalan al-Qur’anku, kala itu aku kesana kemari untuk memilih pondok pesantren sebelum kemudian aku menentukan pilihanku pada salah satu pondok pesantren di daerah Gresik. Disana aku mendapatkan kamar baru yang mana aku mendiaminya seorang diri. Karena aku masih santri baru dan tak ada seorang pun yang aku kenal sebelumnya aku lebih sering menyendiri di kamar dan hanya keluar kamar ketika waktu sholat jama’ah, ngaji al-Qur’an serta ngaji kitab.

Di dalam kamar aku mengisi waktuku dengan membaca buku, menghafal serta muroja’ah hafalan, dan mendengarkan pengajian rutin ihya’ ulumuddin serta kitab-kitab lain. Rutinitas mendengarkan pengajian ihya’ ulumuddin serta kitab-kitab lain dari channel radio tersebut mungkin sudah menjadi kebiasaan sejak kecil, namun kali ini berbeda, aku tidak hanya mendengarkannya seperti biasa tapi aku mendengarkannya lebih seksama, lebih fokus, bahkan aku catat dan aku amalkan. Selain itu, ketika ngaji kitab di pondok tersebut aku pun lebih fokus dan mengingat setiap apa yang diajarkan oleh ustadz karena memang kondisi kala itu berbeda dengan ketika aku mondok waktu SMP dan SMA.

Ketika mondok sembari sekolah di jenjang SMP dan SMA mungkin seringkali ketika waktunya ngaji kitab aku sudah kelelahan, jadi aku mengaji sembari kecapekan bahkan mengantuk. Di samping itu, pada waktu SMP dan SMA aku juga termasuk santri yang agak bandel dan badung. Oleh sebab itu, aku seringkali menyebut pilihanku untuk mondok lagi setelah lulus SMA sebagai tahap rehabilitasi, tahap untuk berubah sebelum aku akan menghadapi godaan serta ujian yang lebih kompleks ketika hidup di luar pesantren, tahap untuk membangun pondasi yang lebih kokoh dari sebelumnya agar tak mudah terseret arus dan gelombang pergaulan yang kurang baik.

Setelah itu, aku berusaha untuk istiqomah mengamalkan hal-hal yang aku dapat dari pengajian-pengajian tersebut mulai dari hal-hal kecil yang bisa aku lakukan seperti beberapa hal yang telah aku sebutkan diatas dengan ditambah beberapa wirid dan amalan-amalan lain. Di situ aku merasakan suatu hal yang berbeda, ketenangan batin, ketentraman jiwa, bahkan seringkali apa yang aku lihat membuatku ingat pada-Nya, seperti ketika aku jalan-jalan ke sawah aku melihat domba, aku teringat dari salah satu buku yang aku baca bahwa suara embikan domba adalah “Wahai kematian, betapa menyakitkan engkau. Wahai kematian, betapa keji engkau. Wahai kematian betapa buruk engkau. Wahai putera Adam, apa yang membuatmu alpa?” dan suara-suara hewan serta makhluk-makhluk yang lain pun sebenarnya selalu mengingatkan kita kepada-Nya.

Aku benar-benar merasa berbeda dari sebelumnya. Di pesantren tersebut aku tidak banyak berinteraksi dengan lawan jenis karena pesantren tersebut khusus perempuan dan aku pun sudah tidak bersekolah. Aku tidak banyak berbicara yang tak penting dan ngrumpi ngalor ngidul dengan teman-teman pondok karena aku lebih sering menghabiskan waktuku di kamar untuk mendekatkan diri pada-Nya dengan beberapa aktivitas yang aku pilih, namun aku tetap bisa berteman baik dengan mereka. Aku lebih istiqomah dalam menjalankan ibadah-ibadah sunah, bahkan aku selalu istiqomah jam dua malam sudah bangun tak peduli jam berapa pun aku tidur dan kemudian qiyamul lail.

Pernah suatu hari aku jam setengah dua baru tidur karena tak kunjung hafal ayat-ayat yang aku setorkan esok, jam 2 sudah bangun lagi, hanya tidur setengah jam dan itu tak membuatku kantuk sama sekali karena bagiku itu adalah sebuah kenikmatan dan sebuah rutinitas yang justru jika aku tinggalkan akan menyisakan sebuah sesal dan kesedihan yang mendalam. Selain itu, ada suatu malam dimana aku menyebutnya “malam luar biasa” karena kala itu aku melakukan qiyamul lail mulai jam dua sampai subuh tanpa rasa kantuk tanpa rasa capek bahkan aku merasa kurang dan kurang untuk terus melakukan ibadah-ibadah malam itu,

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline