Lihat ke Halaman Asli

Pilihlah Aku

Diperbarui: 24 Juni 2015   13:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mengutip sebagian judul novel  Leyla Imtichanah.  "Pilihlah Aku" Nyanyian kaasmaran tentu akan meneriakan ... menterteriakan itu.

Monopoli kepemilikan.

Punyaku.

Punyamu.

Kepunyaan kita.

Tentulah tidak ada yang paling diinginkan sang pencinta selain cinta itu sendiri. Bahkan nada bicara setiap hembusan nafas hanyalah cinta.

Gejolak keegoan menari-nari dalam keserakahan mimpi.

Yang tergenggam seolah enggan untuk sekadar direntangkan, begitu eratnya bahkan tak akan  pernah boleh untuk hilang dalam dekapan.

"Pilihlah Aku"

Berkoar dengan toanya  fokuskan hanya cuma titik tanpa koma.

"Pilihlah Aku"

Tipuanalibi seseorang yang tak mengidolakan pengakuan.

Meski dengan samar.

Lirih.

Dalam aksara nanarpun azimat pasi tersematkan.

Keakuan menyapu bersih eling pensadaran.

"Pilihlah Aku" sepertinya juga mentertawakan yang termarginalkan.

Saat lukisan indah terseketsa, satu wajah turutpun teresah.

Aahhhhh,

Setiap pencemburu mendekralasikan keharusan.

"Pilihlah Aku"...Fitrah kemanusiaan mencari keberhargaan mutiara disesaknya penyelaman dasar samudera.

Tidak ada penggratisan kompetisi.

Kalah.

Mengalah.

Atau

Tersalah.

Wejangan pepatah tetua  serak berat berkata "Menangkan tanpa menyakiti, kalahkan tanpa merendahkan".

Dalam kubangaan,  permata tetap sahaja berharga, namun di semestinya  kilauan bertahta akan semakin menenangkannya.

Kelak yang ada hanya memenuhinya binar-binar. Bisunya kesah pensalahan ketidaksempurnakan hingga beda keunikan mengantarkan indah pelangi  di gerimis hari.

(nuansa chemistry May 2013)

Sungai lanang dalam gerimis pekat hari

sumber gambar :http://forum.indowebster.com/signaturepics/sigpic138791_63.gif




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline