Lihat ke Halaman Asli

Swasti

Swasti

Papan Ketik Baru dalam Kado Biru

Diperbarui: 8 Maret 2017   04:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumen Pribadi

Pagi ini Rio datang berkunjung. Ia membawakan kotak berpita biru, dan segera menyerahkannya padaku.

“Ini untukmu, Lin”, ucapnya singkat.

Kuucapkan terima kasih padanya, dan dengan segera kubuka. Wah, sebuah mini wireless keyboard, masih baru, tombolnya berwarna putih, dengan bingkai di sekelilingnya berwarna biru kesukaanku.

Aku tersenyum kegirangan. Andai tak ada orang di sekitarku, tentu kukecup pupinya pula, sebagai tanda apresiasi terhadap sikap cepat tanggapnya. Memang dua hari yang lalu, aku sempat mengeluhkan kondisi papan ketikku yang setengah rusak, ada beberapa tombol yang tidak muncul karakternya di layar monitor, jika kutekan. Tentu saja ini sangat mengganggu kelancaranku dalam mengetik berbagai tugas kuliah, atau ketika aku ingin menulis cerpen.

Ah, Rio memang selalu bersikap manis padaku, seperti sekarang ini. Bahkan ketika aku dalam keadaan sulit sekalipun, ia selalu ada di sampingku. Dalam artian, ia memberi solusi pada problem-problemku. Aku bahagia memilikinya, sebagai… ah entahlah, sebagai apa ya? Terlalu dini untuk menyatakan sebagai kekasihku.

Sudahlah, tak perlu dikacaukan suasana indah ini. Aku tak ingin membahas status hubungan kami saat ini. Hatiku bahagia, karena berarti nanti malam aku sudah bisa mengetik melalui komputerku lagi. Ada beberapa ide cerita di benakku, yang sangat ingih kujelmakan menjadi kisah-kisah manis. Sebagaimana juga, ada beberapa tugas kantor yang harus kutuntaskan sebagai target minggu ini.

Sebenarnya, tidak ada yang istimewa dengan tulisan-tulisanku. Segalanya bersahaja. Kurasa yang spesial adalah semangat baruku. Aku ingin terus menulis. Dan menulis. Dan menulis. Aha, tiga kali penekanannya, seperti style presidenku.

Semangat dan bakat adalah dua modal dasarku. Semangat adalah yah.. hal-hal seperti sekarang ini: seorang pria baik, yang membawakan hadiah-hadiah berupa benda  yang amat bermanfaat dan memang sedang kubutuhkan. Ah, terdengar sedikit materalistis. Maksudku adalah daripada dibawakan benda-benda konsumtif, yang tak terpakai. Rio selalu memaksaku untuk menerimanya.

Sedangkan, bakat harus dipupuk jika itu diibaratkan tanaman, dan harus diasah jika itu diibaratkan golok. Asal saja, janganlah golok membabat tanaman. Ah.

Aku membalikkan badan pada pria baik itu sambil bertanya,” Rio, bagaimana aku membalaskan semua ini? Apakah benda ini mahal? Aku merasa tidak enak, nih.”

Ia hanya tertawa kecil.

“Tak perlu risau, Lin. Sudahlah, jangan menyebut harga sebuah pemberian. Hanya berjanjilah padaku…”, ujarnya.

Mendadak hatiku ketar-ketir. Janji? Janji apa?

Melihat raut wajahku yang berubah drastis, ia tambah tertawa lebar.

“Begini Lin, aku ingin kau berjanji jika tahun depan kau sudah menamatkan kuliahmu di Adminstrasi, tak perlu kau report-repot melamar kerja ke kantor-kantor di luar sana, cukup datanglah ke perusahaan yang baru kurintis ini. Bekerjalah padaku. Engkau pasti bakalan menjadi seorang pegawai handal.”

Ooohh. Bibirku membentuk huruf O.

“Memang kau kira apa? Sebuah janji, untuk menikah denganku?” ia menggodaku.

Aku tersipu malu, bagaimana ia tahu pikiranku?

Aku mencoba menutupinya, sambil menyuguhkan senyum semanis mungkin,”Baiklah Rio, jika Yang di Atas mengijinkan, kelak setelah kuselesaikan kuliah D3-ku, aku akan melamar kerja di perusahaanmu.”

Ia memegang tanganku dengan hangat.

                                                                                                                                              ----*****---




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline