Lihat ke Halaman Asli

Keadilan Sosial Bagi Perempuan Menuju Pembangunan Negara

Diperbarui: 12 Desember 2018   06:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Poin nomor lima dalam agenda Social Development Goals (SDGs) tahun 2030 oleh 193 negara adalah kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. SDGs diadopsi oleh negara di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) demi terciptanya pembangunan manusia yang berkelanjutan. Kesetaraan gender bukan hanya isu yang dimiliki oleh kaum perempuan tetapi juga lelaki. Pencapaian poin kelima SDGs atau dikenal dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan pada tahun 2030 memiliki penekanan terhadap pentingnya keutamaan yang sistematis terhadap perspektif gender dalam pelaksanaan dan pemantauan SDGs.

SDGs yang disepakati dalam pertemuan puncak di PBB pada 25-27 November 2015 memperlihatkan peta jalan untuk kemajuan yang berkelanjutan dan berjanji untuk tidak meninggalkan siapapun di belakang. SDGs ditujukan untuk semua elemen warga negara secara inklusif dengan tidak membedakan berdasarkan agama, suku, ras, maupun jenis kelamin. Karenanya, semua berhak untuk terlibat dan menikmati hasil pembangunan.

Namun, potensi perempuan belum sepenuhnya terwujud. Antara lain disebabkan oleh ketidaksetaraan sosial, ekonomi dan politik yang persisten. Ketidaksetaraan gender masih mengakar dalam masyarakat di beberapa negara. Perempuan secara global menderita karena kurangnya akses ke pekerjaan layak dan menghadapi kesenjangan pekerjaan dan kesenjangan gender. Pembicaraaan perempuan menghadapi degradasi atas hak mereka masih ada hingga hari ini.

Salah satu negara yang ketidaksetaraan gender jelas terlihat adalah Jepang. Jepang sebagai salah satu negara maju menempati posisi ke 101 dari 145 negara dalam indeks kesenjangan gender.  

Meski Jepang dalam bidang ekonomi menempati rangking kelima, namun dalam hal kesenjangan gender ternyata Jepang masih menempati posisi bawah bahkan di bawah Tiongkok dan Indonesia. 

Kesenjangan ini terlihat dari partisipasi perempuan di bidang politik dan ekonomi. Perbedaan gaji pria dan wanita paling tinggi mencapi 29 persen. Ketidaksetaraan gender ini terjadi karena adanya pengaruh yang kuat pada pemikiran tradisional atau landasan ideologis Jepang berdasarkan ajaran Shintoisme, Confusionisme dan Budhisme.

Dalam hal ini, SDGs menuju 2030 belum memadai karena fokusnya hanya pada aspek sosial, ekonomi dan fisik dari pembangunan saja. Padahal, perspektif pembangunan juga dapat dilakukan oleh perempuan. Prospek ini sejalan dengan spirit ke-Islam-an yang sejajar dengan semangat feminisme, yaitu menuntaskan masalah ketidakadilan.

Agenda global untuk pengentasan ketidakadilan selaras dengan Maqasid al-Shariah - tujuan syariah. Kerangka filosofis dari banyak ulama Islam klasik seperti al-Ghazali dan al-Syatibi menjelaskan kebijaksanaan di balik keputusan tidak hanya tentang mengembangkan kesadaran Tuhan tetapi meningkatkan kohesi sosial.

Maqasid memiliki aspek penting untuk mengembangkan ekonomi yang bersifat maslahah atau kepentingan publik. Jika hal itu tidak berkembang, muncul adanya korelasi antara ketidakadilan dan kemiskinan. 

Bentuk perwujudan keadilan sosial adalah bahwa Allah SWT menempatkan manusia berada di dalam kesempatan yang sama besarnya dalam hal berkarya dan berprestasi. Keadilan sosial itu terwujud dari hasil yang diperoleh oleh seseorang tergantung pada besar kecilnya usaha yang dilakukannya. 

Siapapun akan memperoleh sesuai dengan kadar  pekerjaannya. Langkah kunci yang diperlukan adalah menanamkan Syariah Maqasid yaitu menjaga iman, melindungi diri dari bahaya (nafs), melindungi intelektual (aql), melindungi keturunan (nasl) dan melindungi harta (mal).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline