Lihat ke Halaman Asli

Ahmad Indra

TERVERIFIKASI

Swasta

Dua Simpulan Dini dalam Kasus Penyerangan Syekh Ali Jaber

Diperbarui: 16 September 2020   07:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menkopolhukam, Mahfud MD mendatangi kediaman Syekh Ali Jaber pada Senin (14/9/2020) malam.(Dok. Kemenko Polhukam)

Penyerangan Syekh Ali Jaber di Lampung menjadi amunisi bagi 2 belah pihak untuk menuding pihak lain. Satu pihak menuding orang bermental PKI sebagai dalangnya, pihak lain menuding radikalisme sebagai biang keladinya. Padahal aparat masih menggali informasi lebih dalam mengenai insiden itu.

Isu PKI dan Instrumen Hukum Pelarangannya
Bisa jadi dalam setengah bulan ke depan, di media sosial akan santer dikampanyekan pemutaran kembali film Penumpasan Gerakan 30 September/G30S-PKI. Tema kontra komunisme kerap dikumandangkan bersamaan dengan perlawanan terhadap penguasa.

Memanfaatkan sentimen anti PKI yang menorehkan sejarah kelam di republik ini, para oposan bahkan menyebut rejim yang berkuasa sebagai personifikasi terselubung dari gerakan pro komunisme. Kerjasama dengan Tiongkok dijadikan sebagai dalil pendukungnya. 

Komunisme, marxisme dan leninisme jelas sudah ditetapkan sebagai paham terlarang di Indonesia. Larangan itu tertuang tegas dalam perundangan negara ini.

Baca juga : Pancasila dan Sengketa Anak Bangsa

Dalam Undang-Undang No. 16 tahun 2017 misalnya, Pasal 59 ayat 4 huruf c menyebutkan bahwa organisasi kemasyarakatan yang hidup dan berkembanh di sini dilarang menganut, mengembangkan serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila.*

Paham yang bertentangan dengan Pancasila sendiri dibabar lebih gamblang dalam penjelasan pasal tersebut.

Yang dimaksud dengan "ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila" antara lain ajaran ateisme, komunisme/marxisme-leninisme, atau paham lain yang bertujuan mengganti/mengubah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 

Ketetapan negara yang memuat pelarangan eksistensi PKI pun masih berlaku hingga kini, yakni Tap MPRS No. XXV/1966.

Dikeluarkannya perangkat hukum serupa berupa Tap MPR No. I/MPR/2003 memperkuat kedudukan dan menutup ruang hukum untuk mengubah atau mencabut TAP MPRS XXV Tahun 1966 itu.

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia Nomor XXV/ - 9 - MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme dinyatakan tetap berlaku dengan ketentuan seluruh ketentuan dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia Nomor XXV/MPRS/1966 ini, kedepan diberlakukan dengan berkeadilan dan menghormati hukum, prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.
(Tap MPR No. I/MPR/2003 pasal 2) *

Namun keberadaan instrumen hukum itu tak serta merta menyurutkan pihak-pihak untuk menyuarakan opininya tentang kebangkitan komunisme atau setidaknya menengarai adanya gerakan bawah tanah yang dilakukan oleh para simpatisan paham komunis. Termasuk dalam kasus penusukan Syekh Ali Jaber ini.

Seperti biasa, salah satu kelompok yang menyatakan sinyalemen gerakan ala PKI dalam upaya pembunuhan ulama adalah PA 212.

Hal itu tertuang dalam pernyataan sikap yang ditandatangani ketua umumnya, Slamet Maarif. Dalam keterangannya pun, Slamet menyerukan kepada umat Islam untuk memberlakukan hukum adat dan qishas jika hukum negara tidak bisa ditegakkan kepada si pelaku. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline