Lihat ke Halaman Asli

FX Aris Wahyu Prasetyo Saris

Menikmati menulis dan membaca dalam bertualang makna kehidupan menuju kebijaksanaan abadi.

Setelah Senja (41): "Tanda Tanya" Kehidupan

Diperbarui: 5 Maret 2021   04:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi. depositphotos.com

Hidup adalah sebuah formulasi kata-kata bersama tanda bacanya membentuk sebuah alur cerita dengan segala konflik, setting, dan penokohannya layaknya sebuah novel kehidupan. Setiap detik dari hari ke hari, setiap manusia menuliskan novelnya sendiri dalam keabadian yang tak akan terhapuskan.

Di bawah langit malam kukayuh sepeda hitamku menuju kapel. Ada yang harus kupastikan hingga selarut ini aku pergi meninggalkan rumah. Buku yang berada di keranjang depan adalah sumber dari tanda tanyaku. Buku ini bersampul kulit dengan ukiran bintang-bintang dan aksara lama. Apa yang membuatku bertanya-tanya adalah saat aku membukanya. Mataku sekilas menyaksikan bagaimana manusia hidup pada suatu zaman, manusia di masa depan.

Sesampaiku di kapel, segera kubuat tanda salib dengan air suci lalu memilih kursi barisan depan untuk duduk. Kuatur napas sembari memandang buku yang kuletakkan di pangkuan. Pertanyaan demi pertanyaan mulai timbul dalam benakku, memaksakku untuk mengingat apa yang kulihat sebelumnya. Sambil mengusap buku dengan jemariku, kututup mata, mengingat. Dari sebuah menara raksasa, aku melihat desa-desa dihancurkan. Terjadi kebakaran besar di sana yang membuat sungai-sungai tercemar dan ilalang di tepian terbakar. Aku terkejut, membuka mata, hati ini bertanya-tanya, revolusi apa yang sedang terjadi?

Perasaanku tak menentu, rasanya takut sekaligus penasaran. Satu-satunya cara menjawab tanda tanya besarku adalah dengan membuka buku ini. Jemariku bergetar membukanya, memperlihatkan halaman pertama yang ditulis dengan tinta berwarna merah semerah darah. Paragrafnya ditulis dengan aksara lama, tapi judulnya menggunakan alphabet biasa, Koma. Karena tidak ada yang terjadi, kuputuskan untuk membuka halaman selanjutnya. Aku mendapati sepotong koran yang tertempel dengan gambar jalan raya yang begitu sepi. Ada daun-daun kering menutupi pinggiran jalan dan lampu-lampu penerangan terlihat rusak. Aku tidak mengerti dengan apa yang sebenarnya terjadi.

Kedua halaman ini belum bisa memberikan titik untuk tanda tanyaku. Mungkin, aku memang harus melihat untuk mendapatkan jawaban. Kupejamkan mata dan berkonsentrasi, kugerakkan jemariku membentuk lingkaran pada buku. Tiba-tiba mataku terbuka, aku yakin ini tidak nyata, tapi aku benar-benar berada di halaman sebuah rumah tua. Kedua kakiku dirantai, aku tidak bisa bergerak, dan terlalu berkabut untuk melihat. Sejauh mata memandang, hanya ada botol sampah di atas rumput dan pagar berwarna hitam. Aku tidak tahu bagaimana cara melepaskan diri dari rantai yang mengikat kedua kakiku.

Dengan kondisi seperti ini, tidak ada yang bisa kulakukan selain berteriak minta tolong. Seruanku menyisakan kesunyian untuk sementara, hingga terlihat titik-titik cahaya menyala dari kejauhan, menunjukkan peradaban. Namun, ada setitik cahaya yang bergerak mendekat, sesosok manusia dengan busur panah membawa sebuah lampion. Dia melangkah semakin dekat, membuatku mundur dan terduduk di atas kursi yang entah dari mana asalnya. Manusia itu kini sudah berada di hadapanku, secara ajaib memunculkan secarik kertas putih dari lampionnya. Tunggu, itu bukan kertas putih biasa, jelas mulai terbentuk tulisan yang nyaris terbaca, tulisan yang berpendar! PYARRR, kubuka mataku, terkejut, mendapati Pater Petrus memecahkan gelas anggur di depan altar, "Sudah selesai," katanya.

*WHy-diNe

**Setelah Senja: sebuah kisah imajinatif reflektif yang mencoba mendaratkan nilai-nilai kehidupan (life value) dalam kisah fiksi ke dalam konteks zaman yang sangat nyata dalam realita hidup ini.

***Setelah Senja:Dari pagi menjelang malam ada berbagai dinamika kehidupan yang menjadi bagian cerita hidup kita. Semuanya itu akan berjalan begitu saja dan pada akhirnya terlupakan begitu saja pula jika kita tidak berusaha mengendapkannya dalam sebuah permenungan sederhana tentang hidup ini demi hidup yang lebih hidup setiap harinya. "Setelah Senja" masuk dalam permenungan malam untuk hidup yang lebih baik.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline