Lihat ke Halaman Asli

Alif Muhammad

Blogger dan Traveller

Tiga Hari Terakhir

Diperbarui: 4 Desember 2022   12:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: https://cdn-2.tstatic.net/belitung

Tiga hari adalah waktu aku berada di sisinya. Tak jauh darinya, menyaksikan kelebat maut dalam sekujur tubuh yang lunglai selunglai-lunglainya. Tubuh yang makin hari makin menyedihkan. Tubuh yang kian menyusut dan makin kentara menampilkan garis-garis kemerosotannya. Maut itu juga berkelebat dalam keluhnya yang kadang keras, lalu melemah.

Kadang aku menyaksikannya dalam getaran tubuhnya yang kian tak terkendali. Tangannya yang sebelah kiri, bergerak-gerak seakan hendak menggapai-gapai sesuatu. Kadang ia hendak menggapai pagar di sisi ranjang tidurnya. Ia ingin membalikkan tubuhnya. Tapi tiap kali usahanya gagal: gerak tangannya itu tak menggapai sesuatu apapun. Hingga aku harus mengarahkan tangan itu pada tepi pagar ranjang. Barulah ia bisa mengubah posisi tidurnya dari terlentang ke arah lain, miring.

Tapi tangan itu begitu sering bergerak sendiri tanpa hendak menggapai sesuatu. Gerak itu seringkali diiringi oleh rasa sakitnya. Tapi ia nyaris tak pernah mengeluh. Dan tak seorang pun mengenali saat ia merasa sakit kecuali air mata yang tiba-tiba menggenang dan tumpah, melewati garis-garis tua di antara pipinya. Air mata itu, jugan tangan yang terus bergerak-gerak tak terkendali, menjadi saksi bisu paling jujur yang mengabarkan rasa sakit yang menjalari tubuhnya.

***

"Nak, kapan pulang?"

Aku tak menyangka kalimat yang terdengar dari nokia bututnya itu jadi kalimat terakhir. Sejak itu, ia tak lagi bertanya. Atau mungkin saja, tubuhnya yang kian tak terkendali dihantam penyakit yang bikin ia tak lagi dapat mengucapkan kalimat itu dengan jelas.

"Pulanglah", begitu kalimat pendek dari bapak, saudara nenek, dan kakak tertuaku. Dan perintah singkat itu diiringi dengan sejenis kekhawatiran tentang kematian. Sempat ada harapan: ia akan baik-baik saja. Tubuhnya yang terkapar perlahan akan bisa bangkit berdiri lagi. Perlahan sembuh. Keluarga berharap ia hanya didera oleh rasa rindu yang begitu dalam hingga menjelma rasa sakit.

Harapan itu datang berganti-bergantian dengan rasa takut: ia akan sembuh. Pasti. Oh tidak, ia akan... oh ia hanya menunggu waktu. Maka sepanjang jalan pulang, aku dipermainkan oleh dua hal itu: kematian atau kehidupan. Tak ada kepastian di antara keduanya. Betapa pun kuatnya aku berharap pada yang pertama, kehidupan, tapi tetap saja aku tak dapat mengesampikan yang terakhir, kematian.

***

15 hari ia bertahan, tepatnya menahan rasa sakit yang tak dapat dihindarinya. Sebelum kami pindahkan ke kamarnya sendiri, ia terkapar di rumah saudaranya. Saat aku datang, matanya menatapku. Ia masih mengenalku. Tak ada ekspresi. Tak ada senyum. Datar saja. Seperti tatapan kosong. Kulit wajahnya terlihat tegang. Meski begitu, aku senang ia masih bisa mengenaliku. Melalui bibirnya, ia menyebut namaku. Ia tak lagi bisa berucap dengan lancar.

"Aku menjatuhkanmu, nak. Kau marah, nak. Hendak membunuhku", ceracaunya sekali waktu. Sejak itu, aku berkesimpulan ia tak lagi bisa berbicara dengan benar. Di mataku, ia sudah tak bisa membedakan yang 'nyata' dan 'mimpi'. Aku menganggap tiap ucapannya adalah ceracau tentang dunia yang tak bisa kami tangkap dengan benar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline