Lihat ke Halaman Asli

Kelam

Diperbarui: 21 Oktober 2021   20:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Aku mengerang pada kubangan barak kumuh,
Ketika hari-hari suram seperti barisan hantu,
Dan ratapan angin membuat kelu;
Guliran waktu yang kian ganas.
Sayup desauan teduh mengalun sendu,
Berdenyut dari nada ketir yang terpetik,
Bagaikan bunyi gong bertabuh lirih;
Dan sedikitpun tak ada pesona tarian gembira.
Sementara langkah gontai sang matahari,
Ingin kembali ke peraduannya dengan damai.

Jutaan insan terbujur kaku dan sekarat perlahan,
Tampak seperti gelimangan mayat di depan mata,
Semarak keanggunannya kering-kerontang,
Opium genggamannya makam kosong;
Sosok tubuh molek dan menawan,
Mengkerut keriput dan menua;
Lalu, semua mengurung diri dalam jeruji ketakutan.

Sontak, mendengkur keras lolongan di sela-sela,
Helai rerumputan kering yang meranggas,
Menghempaskan segala sisa beban derita;
Saat seorang ibu muda, cantik dan rupawan,
Sudah memutuskan untuk melempar bayinya
Ke atas kepekatan yang tak terperikan.

Hanya bergeming dan bergeleng kepala,
Ketika ditanya lolongan apa itu.
Terkubur di dalam batin,
Yang Adam maupun yang Hawa;
Sudah tak layak bersenda-gurau tentang hidup,
Aku tak sanggup berpikir melintasinya.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline